Oleh : Hasanan
Sebelum membahas tentang Suku Melayu Kayong ada baiknya kita mengetahui asa usul penamaan kayaong atau yang lazim di sebut sebagai “Tanah Kayong”.
Tanah Kayong adalah sebutan untuk Kabupaten Ketapang dan kabupaten kayong utara yang merupakan salah satu kabupaten yang terletak paling selatan di Kalimantan Barat. Sebanarnya penyematan nama “kayong” untuk sebuah nama Kabupaten kayong utara saat ini kurang begitu tepat jika di lihat dari sisi sejarah sebab nama Kayong itu sendiri tidak ada di wilayah yang saat ini dinamakan kabupaten kayong utara, lalu di manakah letaknya ?. nanti akan kita bahas di sini, dan kali ini kita juga tidak akan membahas atau menyoal nama Kabupaten kayong utara yang sudah terlanjur jadi, di sesion kajian yang lain kami akan menyajikan untuk anda, namun sekali lagi kajian ini hanya bersifat wacana sejarah untuk kita sama sama dalam ruang diskusi, terutama pada kolom komentar yang telah kami sediakan, selamat menyaksikan.
Kabupaten ketapang dan kayong utara memiliki jejak peradaban yang tertua di kalimantan barat yakni Kerajaan Tanjungpura dan beberapa kali mengalami perpindahan ibu kota dari mulai negeri baru, Sukadana , matan, Indralaya, Tanah Merah, Simpang dan Muliakerta.
Pada kali ini kita meminjam istilah nama “Kayong” sebagai sebuah entitas untuk menyebut suku melayu secara umum yang ada di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Walaupun terkadang fakta di lapangan beberapa suku melayu yang ada di dua kabupaten ini lebih cenderung menyebut dirinya berdasarkan tempat atau budaya yang berkembang di daerahnya, misal melayu Simpang, Melayu Laur, Melayu sandai, melayu pesaguan, melayu kendawangan, melayu pulau dan lain sebagainya, namun secara umum melayu di dua kabupaten ini memang memiliki ciri khas yang sama sehingga Alm M Dardi D Has mengistilahkan melayu di dua kabupaten ini dengan nama MELAYU KAYONG, yang terdiri dari banyak sub suku lagi.
Baik kita akan mencoba membahas secara rinci, Di sisi yang lain "tanah kayong", konon menurut kisah juga terkenal dengan banyak orang yang sakti mandra guna yang berasal dari daerah ini.
Menurut dari berbagai sumber dan literatur penamaan kayong sendiri berasal dari sebuah sungai yang berada di batang tayap, saat ini masuk di wilayah Kecamatan Nanga Tayap kabupaten ketapang.
Di Nanga Tayap sejak dahulu terdapat sungai yang bernama "sungai Kayong ". yang di dalamnya juga di huni oleh sub suku dayak yang bernama Dayak Kayong . Di kawasan ini dahulunya juga juga berdiri pecahan dari Kerajaan Tanjungpura yaitu Kartapura , saat ini masuk wilayah desa Tanah Merah Sei Kelik kecamatan nanga tayap).
Kartapura adalah kelanjutan dari Tanjung pura yang berawal dari negeri baru kemudian pindah kesukadana, Matan lalu pindah lagi Indralaya atau Sandai . Di kawasan kartapura dan Sungai kayong inilah ada makam Ratu Pano, dan makam makam kuno lainnya yang menjadi situs bersejarah yang merupakan rangkaian penting dari kelanjutan imperium kerajaan Tanjungpura.
Apabila kita berkunjung ke kampung melayu di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara , maka kita akan menjumpai bahasa Melayu yang khas dan unik, berbeda dengan bahasa melayu pada umumnya di kalimantan atau pulau sumatra.
Bahasa yang unik dan khas tersebut di sebut sebagai bahasa melayu kayong. Namun di tempat tertentu seperti perhuluan terkadang dialeknya agak berbeda , bagian hulu lebih dekat dengan dialek yang kental dan melekat seperti orang dayak, namun secara umum memiliki bahasa yang sama, perbedaannya hanyalah pada dialeknya.
Jika di daerah perkotaan pada umumnya menyebut kamu atau anda adalah dengan kata “kau” untuk yang halusnya adalah awak , namun jika di pedalaman menyebutnya dengan sebutan “mpuk, jika di Kendawangan mika’, teluk Melano Telok Batang , durian sebatang dan pulau maya menyebutnya, ika atau kita`. Namun yang berbeda jauh seperti di Melayu Tayap khususnya cali, yaitu ngkam.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh yang menyatakan kepada kita bahwa suku Melayu Kayung pada umumnya memiliki bahasa yang sama. Soal beda dialek hanyalah kerena tempat tinggal dan interaksi dengan penduduk sekitar yang menghasilkan proses budaya baru yang turun temurun dalam kurun waktu cukup lama.
Jika di nukil dari kisah Tuk Upui dan Tuk Bubut seperti yang telah di tulis oleh seorang budaywan asal ketapang , yakni M dardi d has beliau menuliskan bahwa tok upui dan tok bubud sama-sama dipercaya oleh penduduk Tanah Kayung sebagai nenek moyang mereka, maka dengan demikian baik Melayu maupun Dayak adalah dari keturunan yang sama.
Dalam catatan Von de wall pada tahun 1862 masehi yang pernah bertugas di sukadana, ia membagi klasifikasi penyebutan bagi orang orang pribumi yang bermukim di tanah kayong pada masa itu, seperti ; mambal atau orang bukit, siring, Kaum, Priyayi, Orang bumi, dan oelor, mereka masuk dalam dua kelompok besar yakni Dayak matahari hidup, dan Dayak matahari mati.
Dayak matahari mati menrut de wall, diam di sepanjang sungai pawan hingga kehulu, sedangkan Dayak matahari hidup ada di bawah naungan kerajaan Tanjung Pura Era Sukadana, termasuk dayak simpang, dayak kayong yang saat itu berdiam di Tolak, siduk, tayap, sandai, tumbang titi, pesaguan dan skitarnya .
Dalam Teks aslinya yang di terjemahkan dari catatan dewall 1862 adalah sebagai berikut :
pada masa kejayaan Kerajaan Sukadana, penduduk terdiri dari dua bagian utama: yakni Dayak dan pemukim Jawa serta pendatang sebagai pengikut muhammad atau yang maksudnya adalah beragama islam, yang selanjutnya mereka menikah dengan orang setempat dan berasimilasi serta di sebut sebagai orang melayu.
Sedangkan Dajak dibagi menjadi dua kelompok besar yakni Dajak matahari hidoep dan dajak matahari mati, dan yang mengikuti ajaran muhammad menjadi empat suku yakni Mambal, Siring, Kaum dan Prijahi.
Dari sinilah awal mula perjalanan masyarakat suku melayu Kayong, mereka dahulunya di identifikasi berdasarkan asal usul tempat yang kemudian dalam perkembangnya di kelompokkan sebagai suku Melayu.
Berdasarkan dari catatan de wall tersebut, artinya Melayu dan Dayak khususnya di wilayah kayong saat ini berasal dari akar yang sama.
Pada masa itu Di karenakan Adanya perubahan politik di Kerajaan Tanjung Pura era Sukadana dan menyebarnya agama baru membuat Orang Dayak matahari hidup kemudian bermigrasi secara besar-besaran ke perhuluan sehingga mereka membentuk beberapa sub suku dayak di antaranya sub suku dayak simpang yang ada di kualant, banjour, semandang kemudian sub suku dayak kayong, yang berdiam di tumbang titi, sandai, pesaguan , kendawangan dan sekitarnya.
Bagi yang masih berdiam di hilir kebanyakan merekalah yang menjadi cikal bakal Melayu Kayung. Sedang yang berpindah kehulu merupakan cikal bakal orang Darat yang pada abad ke 17 disebut sebagai suku Dayak oleh para penulis eropa.
Penduduk yang bermukim didaerah pesisir pantai bersifat terbuka, karena mau tidak mau mereka harus menerima para pendatang dari seberang laut atau dari pulau pulau sekitar. Mereka kemudian membaur, bahkan menikah serta hidup turun temurun , maka Tak heran karena berinteraksi dengan para pendatang maka adat istiadat, bahasa dan sebagainya mengalami perubahan .
Sedang mereka yang berdiam di pedalaman karena kurang berinteraksi dengan pendatang, sehingga bahasa dan adat istiadat tidak mengalami banyak perubahan.
Agama Islam yang masuk pada abad ke 15 di kalimantan melalui kerjaan Tanjung pura , yang pada masa itu Ibukota Kerajaannya sudah ada di Sukadana. Yang pertama menerima Islam adalah raja Karang Tanjung atau pudong berasap dengan gelarnya adalah Sultan Ali Aliuddin.
Karang tunjung atau pudong berasap adalah putra dari raja baparung bin prabu jaya dari majapahit yang juga menikah dengan dayang ptong dengan gelar putri junjung buih yakni putri angkat dari Siak bahulun yang merupakan seroang raja ulu air , saat ini masuk wilayah menyumbung kabupaten ketapang.
Penyebaran Islam secara damai melalui hubungan politik dan prdagangan dengan kerajaan yang berasal dari berbagai penjuru negeri. Bagi mereka yang tidak mau menerima Islam sebagai agamanya, tidak di paksa oleh raja namun Lama-kelamaan bagi yang memeluk agama Islam mendekati pusat kerajaan, sedang yang menolak mulai menjauh dari pusat kerajaan.
Hal inilah para pencatat eropa pada masa itu seperti G Muller, Von de wall, PJ vert, membagi penduduk Kalimantan secara umum dengan sebutan dayak dan melayu.
Jika di logika kan secara sederhana maka kesiumpulan bahwa ; Melayu adalah orang Dayak yang beragama Islam , sedangkan orang Dayak adalah orang Melayu yang tidak masuk Islam.
Orang Melayu Kayong banyak bermukim dipesisir pantai, namun jika di runut berdasarkan asal usulnya maka melayu kayong adalah percampuran, dari berbagai suku di nusantara pada masa itu. Maka bisa disimpulkan bahwa yang membentuk Melayu Kayung saat ini terdiri dari gabungan beberapa suku yang ada ditanah Kayung di antaranya adalah:
- Penduduk asli Kalimantan (dari golongan priyayai, maya, orang bukit, mengkalang, siring mambal, oler dan orang bumi, yang selanjutnya terbagi menjadi dayak matahari matai dan dayak matahari hidup, yang kemudian membentuk identitas Melayu Dan dayak)
- Pendatang dari sriwijaya dan Palembang ( yaitu rombongan Sang Maniaka yang merupakan para pendatang sebelum adanya Tanjung pura era Islam)
- Pendatang dari Pulau Jawa (yakni rombongan PrabuJaya Majapahit dan para pendatang berikutnya di masa kerajaan Demak dan Mataram )
- Pendatang dari Bugis (yaitu rombongan Daeng Manambon empat bersaudara dan daeng mataku)
- Pendatang dari Berunai (RajaTengah anak kseultanan brunei yang datang pada abad ke 17 di masa raja giri mustika atau sultan muhammad syafiuddin)
- Pendatang dari Arab yakni para syaikh dan habaib yang menikah dan menjadi pendiri di beberapa kerajaan kalimantan.
- Pendatang dari Siak (yakni rombongan Tengku Akil yang datang di abad ke 19)
- Pendatang dari Jambi pada abad ke 19 yang menurunkan trah raden di kerajaan simpang.
- Para pendatang lain yang bergabung dan menisbatkan diri menjadi bagian dari Melayu Kayung.
- Tidak menutup kemungkinan para pendatang lain juga ikutr berbaur di tanah kayong seperti singgahnya pasukan kubilaikhan selama beberapa bulan di karimata dan kessukadana pada abad ke 13 saat akan kesingasari menyerang kertanegara. Dan Sukadana di masa abad ke 15 – 17 pernah menjadi bandar besar , maka tidak menutup kemungkinan kawin campur penduduk pribumi dan pendatang lain sangat terbuka di daerah tersebut.
Untuk menjadi orang Melayu Kayung atau untuk diakui sebagai urang Melayu Kayung sangatlah mudah, yaitu para pendatang merasa sebagai urang Kayung, tidak arogan, tidak merasa bahwa “pribumi” adalah lebih rendah dari mereka para pendatang, maka mudah saja diterima dikalangan Melayu Kayung.
Namun apabila para pendatang itu arogan dan merasa diri lebih tinggi derajatnyadari “pribumi”, maka jangankan di tanah kayong , dimanapun mereka berada akan sulit diterima keberadaanya.
Dalam perkembangannya bahasa yang di tuturkan oleh suku melayu kayong juga berbeda dengan melayu lainnya di kalimantan barat. Bahasa melayu Kayong merupakan salah satu dialek bahasa Melayu Lokal yang dituturkan di sekitar masyarakat melayu yang berdiam Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.
Walaupun dalam dialek melayu kayong sendiri, pada saat ini memiliki beberpa perbedaan berdasarkan wilayah namun secara umum bahasa melayu kayong adalah bahasa yang khas dan bahasa asli bagi para penduduk suku melayu yang ada di wilayah dua kabupaten yakni Kayong Utara dan Ketapang.
Berikut kami sertakan beberapa perbandiangan bahasa melayu kayong dengan banjar dan jawa berdasarkan asal usul dan percampuran yang telah di uraikan di atas. Selain itu beberapa film yang di produksi oleh Insan perfilman lokal kayong seperti Perang Belangkaet , Bunge arum cempane dan banyak konten yutube berbahasa melayu kayong seperti yutube ketapang tv tok uban dan lain lain juga mengangkat bahasa melayu kayong , meski beda dialek namun khasnya adalah sama.
Berikut kami coba sajikan beberapa perbedaan dan persamaan bahasa melayu kayong dan bahasa melayu Banjar serta jawa.
Melayu |
Banjar |
Kayong |
|
jalanan |
timbuk |
timbok |
|
anda |
sampiyan |
sampin |
|
sambit |
tingkalung |
tengkalong |
|
dahulu kala |
bahari |
dolo' |
|
cuci muka |
tampungas |
tempungas |
|
dodol durian |
tampuyak |
lempok |
|
pesanan khusus |
tampah |
tampah |
|
jerang ditungku |
tanggar |
tanggar |
|
tancap |
tajak |
tajak |
|
dibayarkan dulu |
talangi |
talange' |
|
pagi sekali |
sungsung |
sunsung |
|
pernah |
suah |
suah / kala' |
|
tempayan |
tajau |
tajo |
|
penebas rumput |
tajak |
taja' |
|
bersemak |
sabat |
sebat |
|
sapu |
sasapu |
sesapu |
|
mesiu |
sandawa |
sendawe |
|
dengan hati-hati |
apik |
apik |
|
wadah |
wadah |
adah |
|
apek |
hapak |
apak |
|
seekor |
sa'ikung |
sekok |
|
sebiji/sebilah |
sabuting |
sebuti' / suti' |
|
seruan 'aduh' |
akay |
akay |
|
tanggung |
alang alang |
alang alang |
|
ayah |
abah |
abah / apa' |
|
kemarin |
samalam |
sore |
|
celana |
salawar |
seluar |
|
susuk ke ujung |
santuk |
santok |
|
air |
banyu |
ai' |
|
lambat |
lambat |
alon |
|
antan |
halu |
alu |
|
mereka |
buhannya |
sida' |
|
sisa gergajian |
gabuk |
simper |
|
sendiri |
sorangan |
sorang |
|
palang pintu |
sunduk |
sondok |
|
bambu kuning |
haur gading |
aur gading |
|
diri sendiri |
awak |
awa' |
|
cocok |
rasuk |
rasok |
|
roboh |
rabah |
rebah |
|
anyaman daun nipah |
kajang |
kajang |
|
dorong |
surung |
surung |
|
uang kembalian |
angsulan |
sosok |
|
kabur |
kabus |
kabus |
|
kais |
kair |
kaer |
|
kalau |
kalu |
kalo' |
|
meraba-raba di tempat gelap |
gagap |
gagap |
|
masakan berkuah |
gangan |
gangan |
|
bawa |
bawa |
gawa' |
|
kamu |
ikam |
mpu' / ika' |
|
hemat |
imit |
emat |
|
guling |
gaguling |
geguling |
|
sanggul |
galung |
gelung |
|
geli |
geli |
geli' |
|
gemuk padat |
gempal |
gempal |
|
pacar gelap |
gandak |
gendak |
|
tidak |
kada |
ada' |
|
obat |
tatamba |
obat tetambe |
|
lintah darat |
pacat |
pacat |
|
dipukul dengan kayu |
pangkung |
pangkung |
|
beritahukan |
padahakan |
padahkan |
|
ikan patin |
patin |
patin |
|
penyimpanan beras |
padaringan |
pedaringan |
|
ikan asin basah |
pakasam |
pekasam |
|
pantangan adat |
pamali |
pemali |
|
kemaluan lelaki |
palir |
peler |
|
keterangan/nasihat |
papadahan |
pempadahan |
|
pulang |
bulik |
balik |
|
kaki berbentuk huruf x atau o |
pengkor |
pengkor |
|
tidur di lantai beramai-ramai |
balampar |
belampar |
|
ujung |
puting |
puting |
|
serentak |
basampuk |
besampok |
|
si bungsu |
busu |
bunsu |
|
hernia |
burut |
burut |
|
cicit |
buyut |
buyut |
|
kemaluan lelaki |
butuh |
butuh |
|
lurus |
bujur |
bujor |
|
keruh |
karuh |
butak |
|
sanak keluarga |
bubuhan |
bubohan |
|
prima/cantik |
bungas |
bungas |
|
pusar menonjol |
bujal |
bujal |
|
burung hantu |
buak |
buak |
|
anting-anting |
bonel |
bonel |
|
binjai |
binjai |
binje |
|
mengadu betis |
bintih |
benteh |
|
mandul |
tamanang |
kanang |
|
mandheg |
mandak |
mandak |
Jawa |
Kayong |
|
menanam |
nandur |
nandur |
anda |
sampeyan |
sampin |
sanak saudara |
sedulur |
dulor |
kelapa muda |
degan |
dogan |
ayu |
denok |
denok |
teman |
batur |
bator |
bohong |
ndobol |
dabol |
ibu jari |
jempol |
empol |
masakan berkuah |
jangan |
gangan |
pisau |
lading |
lading |
dengan hati-hati |
apik |
apik |
wadah |
wadah |
adah |
apek |
apek |
apak |
lambat |
alon |
alon |
bawa |
gawa |
gawa' |
sanggul |
gelung |
gelung |
geli |
geli |
geli' |
waras |
waras |
waras |
pacar gelap |
gendak |
gendak |
obat |
tombo |
obat tetambe |
hantu perempuan |
wewe |
wewe |
penyimpanan beras |
pendaringan |
pedaringan |
stop |
mandheg |
mandak |
MIFTAHUL HUDA
Sumber:
Von De wall , Buku M. Dardi D. Has., Jurnal
BPNB Kalbar , Kantor Informasi, Kebudayaan dan Pariwisata, 2008. Halaman: 4-5, Dan lain lain
0 Komentar