Ticker

6/recent/ticker-posts

Wilayah Kekuasaan Kerajaan Simpang Matan dan Dilema Hak Ulayat

Oleh : Isya Fahrudi

Lukisan kerajaan simpang matan 1823 ( Sumber : Museium Leiden )

Kerajaan Simpang  Matan yang berada di pulau boneo telah wujud sejak tahun 1774 (abad ke 18 masehi), yang sebelumnya merupakan pembagian wilayah dari kerajaan induknya yakni kerajaan Matan dan Tanjung Pura .

Dalam catatan Von De Wall  tahun 1862,  tertulis  bahwa leluhur sekaligus pendiri kerajaan simpang adalah Pangeran  Ratoe Kesuma Ningrat, yang merupakan  anak dari Pangeran mangkurat ( Sultan aliuddin bin Sultan Zainuddin yakni raja kedua kerajaan Matan. 

Pangeran  Ratoe Kesuma Ningrat lalu menikah dengan Ratu bunga yakni putri dari Sultan Muazzidhin yang pada masa itu berkuasa di Indra laya, atau di kenal sebagai marhum negeri laya atau yang saat ini di kenal dengan nama Sandai.

Sedang dalam catatan Gorge Muller bersama salah seorang rekannya yang pernah datang ke Borneo pada tahun 1822, yang di temani oleh Raja Akil dari Sukadana dan  Uwan Hassan, yakni utusan dari  Pontianak, Muller menuliskan bahwa Pangeran Ratu Kesuma Ningrat meninggal pada usia yang sangat tua pada tahun 1814 masehi, dan di makamkan di belakang Keraton Kerajaan Simpang dengan bertaburkan bunga serta sekitarnya terdapat marmer putih.

Di masa Panembahan Anom Surya Ningrat atau Gusti Mahmud yang merupakan putra dari Pangeran  Ratoe Kesuma Ningrat sekaligus pewaris tahta kerajaan simpang, kolonial belanda Belanda datang dan melakukan kontrak tanda tangan yang pertama yakni pada 23 november 1823 masehi. dalam kontrak tersebut belanda meminjam tanah di sukadana untuk mendirikan kantor loji dengan dalih ingin memberantas lanun atau  bajak laut.

Dinamakan Kerajaan Simpang karena letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu cabang di sebelah kanan menuju ke Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri adalah sungai Lubuk Batu saat ini,  (jika dahulu bernama Sungai Sidiaw).

Kerajaan Simpang pada masa itu tidak jauh dari Kerajaan Matan kuno, di sebutkan Gorge Muller yang datang pada tahun 1822 masehi,  bahwa dari Simpang menuju ke Matan hanya setengah hari perjalanan, namun pada masa itu ia menuliskan bahwa kota Matan telah lama tak berpenghuni dan bobrok, yang ada hanya tinggal puing puing sisa peradaban serta makam makam tua, baik yang ada di Matan maupun di Sekusur saat ini.

Jika merujuk dari berbagai catatan dan literatur berikut raja raja yang pernah memerintah Kerajaan Simpang, di antaranya adalah sebagai berikut :

Foto dan Ilustrasi Raja raja  Simpang matan dari masa ke masa   

Pangeran Ratoe Kesuma Ningrat  ( 1734 – 1814 )

Gusti Mahmud bergelar Panembahan Anom Surya Ningrat  ( 1814 – 1845 )

Gusti Muhammad Roem  bergelar Panembahan Kesuma Ningrat ( 1845 – 1875 )

Gusti Panji Bergelar Panembahan Soerya Ningrat ( 1875 – 1911. wafat Pada Tahun 1917)

Gusti Roem Bergelar bergelar Panembahan Anom Surya Ningrat  ( 1917 – 1938)

Gusti Mesir Bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin I ( 1938 – 1943 )

Mangkubumi Gusti Mahmud ( 1943 - 1952 )

Gusti Muhammad Mulia Bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin II ( 1998 – 2017 )

Gusti Muhammad Hukma  Bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin III (2017 – saat ini )


Keraton Kerajaaan Simpang Matan pertama didirikan oleh Pangeran Ratoe Koesumaningrat yang juga sebagai pendiri kerajaan Simpang Matan pada tahun 1744. Kemdian dibangun kembali pada tahun 1815 Oleh Panembahan Anom Suryaningrat atau Gusti Mahmud, lalu di lanjutkan oleh putranya yakni
  panembahan Koesumaningrat atau Gusti Muhammad Roem pada tahun 1845 hingga 1874, kemuduian tahta di lanjutkan kembali oleh panembahan Suryaningrat atau Gusti Panji pada tahun 1875 hingga 1911 Masehi.

Pada tahun 1911 hingga 1915 kerajaan simpang mengalami perang  dengan belanda yang dikenal dengan nama perang Belangkaet. Sehingga pusat ibu kota berpindah dari Simpang Keramat ke arah hilir yakni Teluk Melano, dengan  dipimpin oleh panembahan Gusti roem dari tahun 1911 hingga 1942, kemduian di lanjutkan oleh putranya yakni panembahan Gusti Mesir pada tahun 1942 hingga 1943. Hingga akhirnya pada masa Jepang Panembahan Gusti Roem dan panembahan Gusti Mesir juga ikut di tangkap bersama beberapa orang kerabat kerajaan dan menjadi korban fasisme jepang di mandor.


Untuk sementara pemerintahan kerjaan kosong maka tahta di isi oleh mangkubumi yang pada saat itu adalah Gusti Mahmud dari tahun 1943 hingga 1956 masehi. kemuduian sejak tahun 1956 hingga tahun 2007 terjadi kekosongan tahta, hingga akhirnya tahun 2008 dilantiklah Drs H Gusti muhammad mulia sebagai penerus tahta kerajaan simpang sebagai Raja Simpang Matan ke VII. Kemudian Tahun 2018 hingga saat ini tahta kerajaan simpang di teruskan oleh Gusti Muhammad Hukma, SE.

Pada saat perpindahan ibu kota pada tahun 1911, Keraton simpang  tua di tinggalkan dan tidak terawat dan Saat ini kondisinya hanya tinggal  8 tongkat kayu belian berukuran 30 x 30 dengan panjang 8 hingga 10 meter serta beberapa bekas peninggalan lain masih tersisa di sana.


Eks Keraton simpang tua , 1744 - 1911

Sementara keraton yang berada di teluk melano nasibnya  juga tak beda jauh, karena tahun 1956 hingga tahun 2007 terjadi kekosongan jabatan oleh raja di sebabkan beberapa hal di antaranya; Raja Gusti Roem dan Gusti mesir menjadi korban Fasisme jepang, dan meninggalnya Mangkubim yakni Gusti Mahmud serta kebetulan pada saat itu Indonesia sudah menjadi negara dengan bentuk pemerintahan yang baru, maka membuat posisi kerajaan simpang matan semakin redup.

Pada puncaknya, setelah undang-Undang No.27 tahun 1959  berlaku maka semua Swapraja/ Kerajaan  khususnya di Kalimantan Barat telah lebur dan menyatu menjadi bagian dari NKRI.  Berdasarkan undang udang tersebut terjadilah penyerahan kekuasan dari kerajaan Simpang pada kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia.


Maka tanah eks Keraton simpang yang baru di teluk melano banyak menjadi fasilitas umum, termasuk sekolah SMP1, SD, 01, pasar, jalan di bawah jembatan yang dahulunya adalah rumah raja yang kini sudah jadi jalan raya, kemudian keraton simpang  di telok melano kini sudah di bangun kantor pos, serta semua wilayah kekuasaan kerajaan simpang matan secara otomatis di ambil alih oleh pemerinth republik indonesia, walaupun hingga saat ini juga tidak ada hitam di atas putihnya.

Pada saat pelantikan kembali tahun 2008, Drs. H Gusti Muhammad Mulia pernah mengemukakan bahwa pada saat ini mereka para ahli waris kerajaan sudah tidak memiliki apa apa lagi. “ kami sekarang tidak memiliki apa apa lagi, jangankan keraton tanahpun kami tak punya”. Ucap Gusti Muhammamd Mulia sambil berkaca kaca dalam acara pelantikan itu.

wester afdeling van borneo_ meliau dan simpang  ( sumber museium leiden)

Berapa Luas Wilayah Kerajaan Simpang Matan

Sungguh ironis , Kerajaan Simpang Matan yang pernah eksis dan berjasa pada negeri ini, justru sekarang tidak memiliki apa yang dahulunya pernah ia perjuangkan. Lalu pertanyaannya seberapa luas wilayah kerajaan simpang matan pada masa itu ?.

Dalam hal ini kita merujuk pada dua fakta sejarah berupa peta borneo bagian barat ( wester afdelning van borneo)  tahun 1893  dan manuskrip perjanjian batas antara kerajaan simpang dan meliau tahun 1886.

Jika di lihat dari peta wilayah tahun 1893, secara umum  borneo bagian barat dapat kita  lihat terdapat 18 kerajaan di antaranya adalah

  1. Kerajaan Sambas
  2. Kerajaan Pontianak
  3. Kerajaankubu
  4. Kerajaan mempawah
  5. Kerajaan Simpang Matan
  6. Kerajaan Soekadana
  7. Kerajaan Matan
  8. Kerajaan Landak
  9. Kerajaan Tayan & Meliau
  10. Kerajaan Sanggau
  11. Kerajaan Sekadau
  12. Kerajaan Sintang
  13. Kerajaan Silat
  14. Kerajaan Soehaid
  15. Kerajaan Selimbau
  16. Kerajaan Pijasa
  17. Kerajaan Djongkong dan
  18. Kerajaan Boenot

Pada saat itu, Kerajaan simpang matan sendiri jadi satu dengan onder afdeling kerajaan Sukadana. Adapaun perbatasan wilayah kerajaan simpang matan adalah sebagai berikut :

Peta kerajaan simpang, yang berwatas dengan kubu, sukadana dan meliau 

Sebelah barat  kerajaan simpang matan berbatas dengan kerajaan Kubu, dengan penanda utama paling barat adalah Teluk noeri sebelah kanan di miliki oleh kerajaan simpang dan sebelah kiri di miliki kerajaan kubu, kemudian terus ke arah timur hingga ST Maya lalu belok kiri menuju sungai mendawak (alur mendauk ) hingga ke tayan / meliu.

Sebelah utara berbatas dengan kerajaan meliau / tayan, sebagaimana tertulis dalam  Manuskrip Surat Tapal Batas Wilayah Kerajaan Simpang Tahun 1886.

Jika di lihat dari isi surat yang dibuat pada tanggal 10 september 1886 ini menerangkan mengenai tapal batas secara rinci antara kerajaan simpang matan dan kerajaan meliau ( sekarang Tayan) pada masa itu. dalam surat itu juga diceritakan bahwa raja Simpang ( Panembahan surya ningrat / Gusti Panjdi ) dan Radja Meliau ( Pangeran Ratoe Moeda Pakoe) masing masing juga membawa para menteri untuk  menjadi saksi secara langsung.

Jika membandingkan antara surat perjanjian tapal batas dan peta kerajaan yang dibuat pada tahun 1893, lokasi yang disebutkan dalam surat itu sama persis, bahkan dari sana kita dapat melihat betapa luas dan berdaulatnya wilayah kerajaan yang di miliki pada masa itu.

Manuskrip Surat perbatasan Simpang dan Meliau 

Berikut adalah terjemahan surat perjanjian tapal batas antara Wilayah Kerajaan Simpang Dan Meliau pada 1886 :

Bahwa kita Sri paduka Panembahan Simpang Matan serta juga kita punya menteri – menteri, dan kita sri paduka pangeran Meliau serta juga kita punya menteri menteri  mengaku menerangkan dan menetapkan dengan surat ini atas watasan kerajaan Simpang dengan Kerajaan Meliau sebagaimana juga telah dititahkan oleh sri paduka tuan Residen di Pontianak yaitu :

Dari kuala Sungai Labai terus mudik sungai itu sampai di gunung Sinangkau //

Sebelah kanan mudik Simpang punya, disebelah kiri mudik Meliau punya //

Dari gunung Sinangkau satu garis, terus sampai di gunung kuali //

Dari situ terus ke bukit tukung  //

dari situ terus ke bukit pagar lintang  //

dari situ terus ke bukit perahu belah//

Dari situ terus kebukit rangka raya//

dari situ terus ke bukit kayu laga//

Dari situ terus ke bukit raya //

mengertinya yang itu gunung - gunung semuanya  dibelah dua //

Yang sebelah kanan Simpang punya, yang sebelah kiri meliau punya //

Dan lagi kita sri paduka Panembahan Simpang serta dengan menterinya mengaku

jika orang meliau mengambil isi utan seperti damar, getah, rotan, kayu//

atau lain barang yang ada di atas tanah //

kita selam lamanya  Tiada mengambil hasil kepada orang meliau dari barang itu //

Yang diambil antara sungai labai sama sungai maninjau,

 jika di belakang hari diambil apa apa barang juga Juga di dalam tanah itu, melainkan orang meliau, mesti bayar kepada Panembahan Simpang seperti diatur di dalam kontrak  //

dari itu pemberian sama orang meliau kita sri paduka panembahan Simpang, kasih itu dengan  Sri paduka  Tuan residen.

Tertulis di sukadana pada hari 10 bulan September tahun 1886 atau hari 11 bulan haji tahun 1303 H.

Di cap dan ditandatangani oleh

Panembahan Surya ningrat bin panembahan kesumaningrat

Pangeran mangkubumi ratoe moeda pakoe (radja van meliau)

De resident Soekadana

----------------------------------------------------------------

Sumber surat ini berasal dari arsip nasional republik indonesia yang di innetarisir oleh Bapak Yusri Darmadi yang kemduian di berikan kepada Isnadi untuk keperluan arsip kerajaan Simpang Matan.

( di terjemahkan oleh : Joko Duwi Santoso )

Sebelah timur laut kerajaan simpang berbatasan dengan kerajaan sekadau, yang di pisahkan oleh gunung goerang , gunung angoes, gunung ketubung, gunung labang monti dan gunung dongkel.

Sedangkan untuk sebelah timur dan tenggara, kerajaan simpang berbatasan dengan kerajaan Matan Kayong,  dengan penanda perbatasan yakni sungai laur,  sungai lekahan, gunung bongkok, dan gunung palung yang menjadi milik tiga kerajaan yakni Simpang, Matan Kayong dan Sukadana.

sebelah selatan, kerajaan simpang berbatasan dengan kerajaan Sukadana,  dengan penanda perbatasan yakni sungai mulia dan sebagian gunung palung. 


Sayangnya saat ini kerajaan Simpang Matan kesulitan dalam upaya melakukan akuisisasi kembali hak ulayat atau adat yang peranh ia miliki.  padahal dalam peraturan menteri negara agraria/ Kepala badan pertanahan nasional Nomor 5 tahun 1999 dan Permen ATR/BPN no 10 tahun 2016  telah di atur tentang hak ulayat atau adat serta penyelsaiannya.

Gerakan memperjuangkan hak ulayat atau hukum adat atas wilayah adat merupakan gerakan budaya. Lebih tepatnya adalah gerakan mengembalikan tanah untuk kepentingan waris adat . Secara historis kerajaan  simpang yang merupakan eks pemerintahan swapraja yang juga pernah berjuang mengusir penjajahan belanda dalam perang belangkaet tentu juga tk dapat di anggap remeh.  

Jika dahulu Kerajaan  adalah pemerintah yang memusatkan kekuasaan di satu tangan (Raja, / Sultan) yang kemudian mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh masyarakatnya, namun saat ini karena banyak faktor, posisi  Raja dianggap hanya simbolik semata dan tak di pandang terlalu penting. Hal ini disebabkan karena “adat beraje” yang sudah mulai hilang, tatanan baru dalam demokrasi di negeri ini telah merubah segalanya dari mulai atas hingga masyarakat akar rumput semuanya hampir tercerabut dari akar identitasnya yang lupa dan abai dari mana ia berasal.

Banyak yang ikut ikutan latah mengikuti perkembangan zaman dengan tak lagi melihat tradisi dan budaya lokal sebagai hal penting, sehingga akhirnya wajar jika negeri ini ibarat berlayar di tengah lautan tanpa tujuan yang jelas sebab ia tak pernah tau dari mana berasal dan bagaimna cara kembali.

Semoga saja kita semua cepat menyadari kekeliruan ini, dan cepat cepat kembali pada pangkal jalan, mulai berkaca dan bertanya, darimanakah kirta lahir ?, dan darimanakah asal bangsa ini terwujud ?. sebelum ada NKRI, dahulunya kita memiliki  peradaban yang luar biasa dalam bentuk kerajaan kerajaan yang tersebar di seluruh nusantara. Bahkan dari kerajaan kerajaan itu lahir karya karya luar biasa dalam meletakkan dasar dasar kehidupan yang saat ini kita nikmati, di antaranya adalah falsafah hidup bernegara baik dalam simbol garuda pancasila maupun semboyan bhineka tunggal ika yang di gali dari peradaban lampau yakni kitab sutasoma karya mpu prapanca .

Belum lagi pondasi hidup beragama dan bertoleransi yang memang sejak dahulu telah di ajarkan dan di tanamkan oleh nenek moyang kita sebagai modal kekuatan yang hingga kini masih kita rasakan, bagaimana kita menikmati nikmatnya Berislam, nikmatnya berbudaya, beradat, saling menghargai dalam warna dan keberagaman yang indah serta banyak lagi yang lainnya.

Semua tak terlepas dari jasa jasa para pendahulu yang lazim kita sebut sebagai pejuang perintis wilayah negeri ini sehingga menjadi saat ini. maka wajar apabila anak cucu dan keturunan dengan atas nama kerajaan kembali meminta atau memperjuangkan hak ulayat yang memang pernah jadi miliknya pada masa dahulu. MH



Posting Komentar

0 Komentar