Oleh : Isya Fahrudi
Lukisan kerajaan simpang matan 1823 ( Sumber : Museium Leiden ) |
Dalam catatan Von De Wall tahun 1862, tertulis
bahwa leluhur sekaligus pendiri kerajaan simpang adalah Pangeran Ratoe Kesuma Ningrat, yang merupakan anak dari Pangeran mangkurat ( Sultan
aliuddin bin Sultan Zainuddin yakni raja kedua kerajaan Matan.
Pangeran Ratoe Kesuma Ningrat lalu menikah dengan Ratu
bunga yakni putri dari Sultan Muazzidhin yang pada masa itu berkuasa di Indra
laya, atau di kenal sebagai marhum negeri laya atau yang saat ini di kenal
dengan nama Sandai.
Sedang dalam catatan Gorge Muller bersama salah seorang
rekannya yang pernah datang ke Borneo pada tahun 1822, yang di temani oleh Raja
Akil dari Sukadana dan Uwan Hassan,
yakni utusan dari Pontianak, Muller
menuliskan bahwa Pangeran Ratu Kesuma Ningrat meninggal pada usia yang sangat
tua pada tahun 1814 masehi, dan di makamkan di belakang Keraton Kerajaan
Simpang dengan bertaburkan bunga serta sekitarnya terdapat marmer putih.
Di masa Panembahan Anom Surya Ningrat
atau Gusti Mahmud yang merupakan putra dari Pangeran Ratoe Kesuma Ningrat sekaligus pewaris tahta
kerajaan simpang, kolonial belanda Belanda datang dan melakukan kontrak tanda tangan
yang pertama yakni pada 23 november 1823 masehi. dalam kontrak tersebut belanda
meminjam tanah di sukadana untuk mendirikan kantor loji dengan dalih ingin
memberantas lanun atau bajak laut.
Dinamakan Kerajaan Simpang karena
letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu cabang di sebelah
kanan menuju ke Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri adalah sungai Lubuk Batu
saat ini, (jika dahulu bernama Sungai Sidiaw).
Kerajaan Simpang pada masa itu tidak
jauh dari Kerajaan Matan kuno, di sebutkan Gorge Muller yang datang pada tahun
1822 masehi, bahwa dari Simpang menuju
ke Matan hanya setengah hari perjalanan, namun pada masa itu ia menuliskan
bahwa kota Matan telah lama tak berpenghuni dan bobrok, yang ada hanya tinggal
puing puing sisa peradaban serta makam makam tua, baik yang ada di Matan maupun
di Sekusur saat ini.
Jika merujuk dari berbagai catatan dan literatur berikut raja
raja yang pernah memerintah Kerajaan Simpang, di antaranya adalah sebagai
berikut :
Foto dan Ilustrasi Raja raja Simpang matan dari masa ke masa |
Pangeran Ratoe Kesuma Ningrat ( 1734 – 1814 )
Gusti Mahmud bergelar Panembahan Anom Surya Ningrat ( 1814 – 1845 )
Gusti Muhammad Roem
bergelar Panembahan Kesuma Ningrat ( 1845 – 1875 )
Gusti Panji Bergelar Panembahan Soerya Ningrat
( 1875 – 1911. wafat Pada Tahun 1917)
Gusti Roem Bergelar bergelar Panembahan Anom Surya Ningrat ( 1917 – 1938)
Gusti Mesir Bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin I
( 1938 – 1943 )
Mangkubumi Gusti Mahmud
( 1943 - 1952 )
Gusti Muhammad Mulia Bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin II
( 1998 – 2017 )
Gusti Muhammad
Hukma Bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin III (2017 – saat ini )
Pada tahun 1911 hingga 1915
kerajaan simpang mengalami perang dengan
belanda yang dikenal dengan nama perang Belangkaet. Sehingga pusat ibu kota
berpindah dari Simpang Keramat ke arah hilir yakni Teluk Melano, dengan dipimpin oleh panembahan Gusti roem dari
tahun 1911 hingga 1942, kemduian di lanjutkan oleh putranya yakni panembahan
Gusti Mesir pada tahun 1942 hingga 1943. Hingga akhirnya pada masa Jepang
Panembahan Gusti Roem dan panembahan Gusti Mesir juga ikut di tangkap bersama beberapa
orang kerabat kerajaan dan menjadi korban fasisme jepang di mandor.
Pada saat perpindahan ibu kota
pada tahun 1911, Keraton simpang tua di
tinggalkan dan tidak terawat dan Saat ini kondisinya hanya tinggal 8 tongkat kayu belian berukuran 30 x 30
dengan panjang 8 hingga 10 meter serta beberapa bekas peninggalan lain masih
tersisa di sana.
Eks Keraton simpang tua , 1744 - 1911 |
Sementara keraton yang berada di teluk melano nasibnya juga tak beda jauh, karena tahun 1956 hingga tahun 2007 terjadi kekosongan jabatan oleh raja di sebabkan beberapa hal di antaranya; Raja Gusti Roem dan Gusti mesir menjadi korban Fasisme jepang, dan meninggalnya Mangkubim yakni Gusti Mahmud serta kebetulan pada saat itu Indonesia sudah menjadi negara dengan bentuk pemerintahan yang baru, maka membuat posisi kerajaan simpang matan semakin redup.
Pada puncaknya, setelah undang-Undang No.27
tahun 1959 berlaku maka semua Swapraja/
Kerajaan khususnya di Kalimantan Barat
telah lebur dan menyatu menjadi bagian dari NKRI. Berdasarkan undang udang tersebut
terjadilah penyerahan kekuasan dari kerajaan Simpang pada kedaulatan negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Maka tanah eks Keraton simpang yang
baru di teluk melano banyak menjadi fasilitas umum, termasuk sekolah SMP1, SD,
01, pasar, jalan di bawah jembatan yang dahulunya adalah rumah raja yang kini
sudah jadi jalan raya, kemudian keraton simpang
di telok melano kini sudah di bangun kantor pos, serta semua wilayah
kekuasaan kerajaan simpang matan secara otomatis di ambil alih oleh pemerinth
republik indonesia, walaupun hingga saat ini juga tidak ada hitam di atas
putihnya.
Pada saat pelantikan kembali tahun
2008, Drs. H Gusti Muhammad Mulia pernah mengemukakan bahwa pada saat ini
mereka para ahli waris kerajaan sudah tidak memiliki apa apa lagi. “ kami
sekarang tidak memiliki apa apa lagi, jangankan keraton tanahpun kami tak
punya”. Ucap Gusti Muhammamd Mulia sambil berkaca kaca dalam acara pelantikan itu.
wester afdeling van borneo_ meliau dan simpang ( sumber museium leiden) |
Berapa Luas Wilayah Kerajaan Simpang Matan
Sungguh ironis , Kerajaan Simpang
Matan yang pernah eksis dan berjasa pada negeri ini, justru sekarang tidak
memiliki apa yang dahulunya pernah ia perjuangkan. Lalu pertanyaannya seberapa
luas wilayah kerajaan simpang matan pada masa itu ?.
Dalam hal ini kita merujuk pada
dua fakta sejarah berupa peta borneo bagian barat ( wester afdelning van
borneo) tahun 1893 dan manuskrip perjanjian batas antara
kerajaan simpang dan meliau tahun 1886.
Jika di lihat dari peta wilayah
tahun 1893, secara umum borneo bagian
barat dapat kita lihat terdapat 18
kerajaan di antaranya adalah
- Kerajaan Sambas
- Kerajaan Pontianak
- Kerajaankubu
- Kerajaan mempawah
- Kerajaan Simpang Matan
- Kerajaan Soekadana
- Kerajaan Matan
- Kerajaan Landak
- Kerajaan Tayan & Meliau
- Kerajaan Sanggau
- Kerajaan Sekadau
- Kerajaan Sintang
- Kerajaan Silat
- Kerajaan Soehaid
- Kerajaan Selimbau
- Kerajaan Pijasa
- Kerajaan Djongkong dan
- Kerajaan Boenot
Pada saat itu, Kerajaan simpang
matan sendiri jadi satu dengan onder afdeling kerajaan Sukadana. Adapaun
perbatasan wilayah kerajaan simpang matan adalah sebagai berikut :
Peta kerajaan simpang, yang berwatas dengan kubu, sukadana dan meliau |
Sebelah barat kerajaan simpang matan berbatas dengan kerajaan Kubu, dengan penanda utama paling barat adalah Teluk noeri sebelah kanan di miliki oleh kerajaan simpang dan sebelah kiri di miliki kerajaan kubu, kemudian terus ke arah timur hingga ST Maya lalu belok kiri menuju sungai mendawak (alur mendauk ) hingga ke tayan / meliu.
Sebelah utara berbatas dengan kerajaan meliau / tayan, sebagaimana tertulis
dalam Manuskrip Surat Tapal Batas
Wilayah Kerajaan Simpang Tahun 1886.
Jika di lihat dari isi surat yang dibuat pada tanggal 10
september 1886 ini menerangkan mengenai tapal batas secara rinci antara
kerajaan simpang matan dan kerajaan meliau ( sekarang Tayan) pada masa itu.
dalam surat itu juga diceritakan bahwa raja Simpang ( Panembahan surya ningrat
/ Gusti Panjdi ) dan Radja Meliau ( Pangeran Ratoe Moeda Pakoe) masing masing
juga membawa para menteri untuk menjadi
saksi secara langsung.
Jika membandingkan antara surat perjanjian tapal batas dan
peta kerajaan yang dibuat pada tahun 1893, lokasi yang disebutkan dalam surat
itu sama persis, bahkan dari sana kita dapat melihat betapa luas dan
berdaulatnya wilayah kerajaan yang di miliki pada masa itu.
Manuskrip Surat perbatasan Simpang dan Meliau |
Berikut adalah terjemahan surat perjanjian tapal batas antara Wilayah Kerajaan Simpang Dan Meliau pada 1886 :
Bahwa kita Sri paduka
Panembahan Simpang Matan serta juga kita punya menteri – menteri, dan kita sri
paduka pangeran Meliau serta juga kita punya menteri menteri mengaku menerangkan dan menetapkan dengan
surat ini atas watasan kerajaan Simpang dengan Kerajaan Meliau sebagaimana juga
telah dititahkan oleh sri paduka tuan Residen di Pontianak yaitu :
Dari kuala Sungai
Labai terus mudik sungai itu sampai di gunung Sinangkau //
Sebelah kanan mudik Simpang
punya, disebelah kiri mudik Meliau punya //
Dari gunung Sinangkau satu
garis, terus sampai di gunung kuali //
Dari situ terus ke
bukit tukung //
dari situ terus ke
bukit pagar lintang //
dari situ terus ke
bukit perahu belah//
Dari situ terus
kebukit rangka raya//
dari situ terus ke
bukit kayu laga//
Dari situ terus ke
bukit raya //
mengertinya yang itu
gunung - gunung semuanya dibelah dua //
Yang sebelah kanan
Simpang punya, yang sebelah kiri meliau punya //
Dan lagi kita sri
paduka Panembahan Simpang serta dengan menterinya mengaku
jika orang meliau
mengambil isi utan seperti damar, getah, rotan, kayu//
atau lain barang yang
ada di atas tanah //
kita selam
lamanya Tiada mengambil hasil kepada
orang meliau dari barang itu //
Yang diambil antara
sungai labai sama sungai maninjau,
jika di belakang hari diambil apa apa barang
juga Juga di dalam tanah itu, melainkan orang meliau, mesti bayar kepada Panembahan
Simpang seperti diatur di dalam kontrak //
dari itu pemberian sama
orang meliau kita sri paduka panembahan Simpang, kasih itu dengan Sri paduka Tuan residen.
Tertulis di sukadana
pada hari 10 bulan September tahun 1886 atau hari 11 bulan haji tahun 1303 H.
Di cap dan ditandatangani
oleh
Panembahan Surya
ningrat bin panembahan kesumaningrat
Pangeran mangkubumi
ratoe moeda pakoe (radja van meliau)
De resident Soekadana
----------------------------------------------------------------
Sumber surat ini berasal dari arsip nasional republik
indonesia yang di innetarisir oleh Bapak Yusri Darmadi yang kemduian di berikan
kepada Isnadi untuk keperluan arsip kerajaan Simpang Matan.
( di terjemahkan oleh
: Joko Duwi Santoso )
Sebelah timur laut kerajaan
simpang berbatasan dengan kerajaan sekadau, yang di pisahkan oleh gunung
goerang , gunung angoes, gunung ketubung, gunung labang monti dan gunung
dongkel.
Sedangkan untuk
sebelah timur dan tenggara, kerajaan simpang berbatasan dengan kerajaan Matan
Kayong, dengan penanda perbatasan
yakni sungai laur, sungai lekahan,
gunung bongkok, dan gunung palung yang menjadi milik tiga kerajaan yakni
Simpang, Matan Kayong dan Sukadana.
sebelah selatan,
kerajaan simpang berbatasan dengan kerajaan Sukadana, dengan penanda perbatasan yakni sungai mulia
dan sebagian gunung palung.
Sayangnya saat ini
kerajaan Simpang Matan kesulitan dalam upaya melakukan akuisisasi kembali hak
ulayat atau adat yang peranh ia miliki.
padahal dalam peraturan
menteri negara agraria/ Kepala badan pertanahan nasional Nomor 5 tahun 1999 dan
Permen ATR/BPN no 10 tahun 2016 telah di
atur tentang hak ulayat atau adat serta penyelsaiannya.
Gerakan memperjuangkan hak ulayat
atau hukum adat atas wilayah adat merupakan gerakan budaya. Lebih tepatnya
adalah gerakan mengembalikan tanah untuk kepentingan waris adat . Secara historis
kerajaan simpang yang merupakan eks
pemerintahan swapraja yang juga pernah berjuang mengusir penjajahan belanda
dalam perang belangkaet tentu juga tk dapat di anggap remeh.
Jika dahulu Kerajaan adalah pemerintah yang memusatkan kekuasaan di
satu tangan (Raja, / Sultan) yang kemudian mendistribusikan kesejahteraan
kepada seluruh masyarakatnya, namun saat ini karena banyak faktor, posisi Raja dianggap hanya simbolik semata dan tak
di pandang terlalu penting. Hal ini disebabkan karena “adat beraje” yang sudah mulai hilang, tatanan baru dalam demokrasi
di negeri ini telah merubah segalanya dari mulai atas hingga masyarakat akar
rumput semuanya hampir tercerabut dari akar identitasnya yang lupa dan abai
dari mana ia berasal.
Banyak yang ikut ikutan latah
mengikuti perkembangan zaman dengan tak lagi melihat tradisi dan budaya lokal sebagai
hal penting, sehingga akhirnya wajar jika negeri ini ibarat berlayar di tengah
lautan tanpa tujuan yang jelas sebab ia tak pernah tau dari mana berasal dan
bagaimna cara kembali.
Semoga saja kita semua cepat
menyadari kekeliruan ini, dan cepat cepat kembali pada pangkal jalan, mulai
berkaca dan bertanya, darimanakah kirta lahir ?, dan darimanakah asal bangsa
ini terwujud ?. sebelum ada NKRI, dahulunya kita memiliki peradaban yang luar biasa dalam bentuk kerajaan
kerajaan yang tersebar di seluruh nusantara. Bahkan dari kerajaan kerajaan itu
lahir karya karya luar biasa dalam meletakkan dasar dasar kehidupan yang saat
ini kita nikmati, di antaranya adalah falsafah hidup bernegara baik dalam
simbol garuda pancasila maupun semboyan bhineka tunggal ika yang di gali dari
peradaban lampau yakni kitab sutasoma karya mpu prapanca .
Belum lagi pondasi hidup
beragama dan bertoleransi yang memang sejak dahulu telah di ajarkan dan di
tanamkan oleh nenek moyang kita sebagai modal kekuatan yang hingga kini masih kita
rasakan, bagaimana kita menikmati nikmatnya Berislam, nikmatnya berbudaya,
beradat, saling menghargai dalam warna dan keberagaman yang indah serta banyak
lagi yang lainnya.
Semua tak terlepas dari jasa
jasa para pendahulu yang lazim kita sebut sebagai pejuang perintis wilayah
negeri ini sehingga menjadi saat ini. maka wajar apabila anak cucu dan
keturunan dengan atas nama kerajaan kembali meminta atau memperjuangkan hak
ulayat yang memang pernah jadi miliknya pada masa dahulu. MH
0 Komentar