Ticker

6/recent/ticker-posts

Sejarah Wayang Kulit Kerajaan Simpang Matan

 

Wayang Kulit Simpang Dari Era Kerajaan Tanjung Pura, Sukadana, Matan dan Simpang

Oleh : Miftahul Huda 

Artikel ini sedang dalam masa penelitian hingga jangka waktu yang tidak bisa di tentukan sejak tahun 2017, jika ingin mengutip dari artikel ini harap konfirmasi terlebih dahulu ke nomor saya 085246595000 ( wa / tel) , sebab siapa tau ada info terbaru . terima kasih dan salam budaya.

==============================================================


Wayang Kulit Simpang adalah kesenian yang dikenal sejak ratusan tahun silam di beberapa daerah yang ada di Matan, Simpang, dan Sukadana Kabupaten kayong Utara Kalimantan Barat. Di duga kedatangan Wayang ini erat kaitannya dengan masuknya putra Majapahit ke Tanjung Pura pertama kali pada abad ke 14, yakni Prabu Jaya yang kemudian menikah dengan dayang putung atau putri Junjung Buih.

 Saat ini Wayang kulit yang masih lengkap ada di Simpang hilir, dan lazim di sebut sebagai Wayang simpang, dan beberapa buah wayang yang tidak utuh lagi tersebar di beberapa tempat seperti Sukadana dan yang lainnya.

Wujud ataupun bentuk dari Wayang kulit khas Simpang ini masih utuh dalam satu kotak  yang di simpan oleh keturunan Dalang bernama Agus Puhun asal Desa Batu Barat Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara.  

Secara fisik wayang kulit Simpang tampak berbeda dengan Wayang kulit Jawa, Wayang kulit Simpang berukuran lebih kecil dengan corak dan nama tokoh yang berbeda jika di bandingkan dengan wayang kulit di jawa saat ini.

Menurut keterangan dari Agus Puhun, yang merupakan generasi ke enam  dari pemegang Wayang Simpang ini menceritakan silsilahnya dari awal. Wayang tersebut mula mula di pegang oleh seorang dalang yang bernama Datok Dute, lalu menurunkan ke anaknya bernama Dalang Wak Jage, lalu ke anaknya bernama Dalang  Anis Kunang, kemudian ke anaknya lagi dalang Uning Imbang, lalu ke anaknya leagi  Agus Itek, dan yang terakhir saat ini adalah  dia sendiri yang merupakan menantu dari Agus Itek.

Menurutnya Tradisi kesenian Wayang di Simpang, sudah ada sejak masa kerajaan Matan, ia menduga sebelum dalang Wayang pertama yang ia sebutkan yakni Datok Dute, sebelumnya sudah ada yang mendahului, namun ia tidak mengetahui namanya, sebab hanya berdasarkan ingatan saja.

Wayang Simpang dari sisi musik berbeda dengan Wayang Jawa, dengan keterlibatan Tim yang lebih sedikit, sebab hanya terdiri dari Dalang yang di bantu oleh pembantunya yang di sebut Pebayu, kemudian penabuh gendang, pemain piul (biola), pemain rebab, dan pemain kenong serta dua pemain tetawak (gong).

Uniknya pada saat memainkan Wayang Kulit Simpang ini sang Dalang adalah orang melayu, namun ketika memainkan wayang tersebut ia bisa berbahasa Jawa bahkan Jawa kuno yang sulit di mengerti padahal dalam keseharianya ia tidak bisa berbahasa jawa, Hal ini disebut oleh Agus Puhun karena Syehnya masuk (masuk Syeh), atau dengan kata lain ia dimasuki mahluk halus.

Dalam proses masuk Syeh tersebut sang Dalang tidak sadar akan apa yang ia lakukan, termasuk dalam memainkan Wayang dengan bahasa Jawa. Namun anehnya ketika sudah sadar ia kembali seperti biasa dan tidak bisa berbahasa Jawa.

Menurut Pesah, Putri dari Dalang (Agus Etek ) yang juga istri dari  Agus Puhun . menurutnya jika ingin menjadi dalang harus melakukan sebuah ritual yang lazim di sebut sebagai beramal. Ritual dalam beramal tersebut seperti; puasa, memakan nasi putih selama 7 hari tanpa lauk pauk, menyendiri atau bertapa dan lain lain.

Jenis wayang simpang

Berdasarkan penuturan Nara sumber yakni Pesah ( keturunan dari Agus Etek ) dan Haripin 95 Tahun, ( Personil pemain gendang wayang simpang yang masih hidup), ia menuturkan mengenai jenis permainan wayang simpang tersebut berdasarkan peruntukkannya, di antaranya adalah sebagai berikut :

1.     Wayang Gedog

Wayang gedog menurut Haripin tidak bisa sembarangan di mainkan oleh semua dalang,  untuk dalang pemula belum bisa memainkannya karena bernuansa mistikkarena Wayang Gedog ini di peruntukan khusus  Ritual yang lazim di gunakan di masyarakat, seperti dalam acara pernikahan. Jika pada masa kerajaan sering di gunakan dalam ritual ritual kerajaan.

Tradisi permainan Wayang Gedog untuk ritual pernikahan ini di sebut Majang, yang di lakukan selama tiga hari tiga malam atau semalam suntuk tergantung kemampuan yang empunya hajatan. Dalam pertunjukan wayang ritual itu para penonton terutama ke dua mempelai tidak boleh melewatkan pertunjukan Wayang hingga selesai.

Dalang yang sering memainkan wayang Gedog ini menurut Haripin juga biasanya menjadi Tetua adat atau dukun kampung setempat.

Wayang Gedog di jawa lebih di kenal dengan nama Wayang Panji karena  ceritanya di adaptasi dari  serat Panji. konon  wayang Gedog ini diciptakan oleh Girindrawardhana (gaman naga kinaryeng bathara), pada tahun 1485 Masehi di masa kerajaan Majapahit .

Untuk nama nama tokoh wayang simpang yang masih ada dalam ingatan Pesah dan Agus Puhun sebagai pemegang wayang saat ini adalah, si pateh, denok, turas, pandji, dan kediri. Sedangkan nama nama tokoh wayang yang lain ia sudah tidak ingat lagi,  sebab terakhir  pertunjukan wayang Simpang tersebut  dimainkan pada tahun 1990 an, sehingga dengan rentang waktu yang lama  tersebut ia sulit untuk mengingatnya kembali.

2.     Wayang Golek

Wayang Golek yang di maksud dalam tradisi  Simpang adalah wayang untuk pertunjukan.  Wayang Pertunjukan ini dilakukan  untuk memenuhi kebutuhan hiburan, bisa saja  niat orang mengundang wayang pertunjukan ini untuk hajatan acara pernikahan , khitanan ataupun yang lainnya.

Jika di jawa wayang golek yang di maksud adalah wayang sejenis orang dan terbuat dari kayu, namun dalam tradisi simpang wayang Golek memiliki fisik yang sama dengan wayang gedog yakni wayang kulit biasa, hanya perbedaanya adalah nama tokoh serta peruntukannya yang berbeda.

Di jawa Pertama kali wayang ini diperkenalkan oleh Sunan Kudus untuk mensyiarkan silam melewati Budaya di daerah Kudus (dikenal Wayang Menak), Cirebon (dikenal Wayang cepak) lalu Parahyangan. Di duga dari perkembangan wayang generasi kedua setelah wayang gedog tersebut juga menyebar ke beberapa daerah dan ikut mempengaruhi perkembangan wayang di simpang, yang semula wayang hanya di jadikan sarana ritual namun sudah berubah menjadi pertunjukan untuk kebutuhan Hiburan dan maksud maksud lainnya.

Sejarah Wayang Simpang

Di duga  pada masa Kerajaan kesenian Wayang  juga biasa dimainkan  di dalam keraton, sebab  persebaran wayang dari Jawa ke tanah Borneo berawal dari hubungan antar kerajaan. Jika melihat dari jenis Wayang  yang ada saat ini serta cara memainkannya  kemungkinan besar Wayang  tersebut  sejak zaman Majapahit sudah masuk ke tanah Borneo Khususnya Tanjung Pur, Sukadana , Matan dan Simpang.  

Dalam perkembangan berikutnya di masa Islam , yakni Kerajaan Demak Bintoro dan Mataram yang juga masih berhubungan, Wayang  di tanah borneo khususnya Simpang memiliki warna yang berbeda. Dugaan Lain tentang awal mula persebaran Wayang Simpang  selain dari hubungan  politik antar kerajaan  juga melalui perdagangan serta pernikahan atau pembauran antara orang pendatang dengan masyarakat setempat.

Kedua teori tentang mamsuknya Wayang di tanah borneo itu sama sama memiliki alasan yang kuat, sebab keduanya saling mempengaruhi dan berkaitan erat.

Berdasarkan data yang di dapat dari catatan Von De wall 1862, wayang juga sering di perdagangkan dan masuk di dalam daftar perdagangan di bandar sukadana, Matan dan Kerajaan Simpang pada masa itu. 

Penonton Wayang kulit di  kerajaan simpang  berada di belakang kelir (layar) sehingga yang ditonton adalah bayangan Wayang tersebut. Berbeda dengan Wayang kulit Jawa yang langsung ditonton dari atas panggung.

Pada masa perkembanganya Wayang kulit Simpang  mengadaptasi cerita cerita lokal  , namun dalam masa ini sulit untuk melacak lakon atau cerita cerita lokal yang pernah di bawakan pada masa itu, karena pelestari atau Dalang utamanya saat ini sudah tidak ada lagi, adapun yang masih ada hanya tersisa pemain Gendang yakni Haripin 95 Tahun , karena usianya sudah sangat tua  maka ia sulit mengingat semua kejadian di masa ia menjadi bagian dari tim pemain wayang.

Penyajian Wayang kulit simpang di masa lalu masih mengikuti cerita dari daerah asalnya di Jawa. Namun Cerita Wayang kulit simpang kemudian beradaptasi dan menjadi seni pertunjukan khas, yang memiliki perbedaan dengan Wayang kulit Jawa baik dari segi bentuk Wayang, lagu gamelan penggiring, atapun cara memainkannya. Wayang simpang akhirnya memiliki nilai  dan karakter tersendiri.


 

Wayang Simpang Menurut Catatan PJP Barth 1892

Menurut catatan dari P.JP. Barth yang datang ke boneo  pada tahun 1892, ia menuliskan bahwa seni Wayang sudah mulai tumbuh dan berkembang dikerajaan Tanjung Pura era Sukadana,  yang di mainkan dan banyak dimiliki oleh Orang Boekit.

Orang Boekit ini adalah penduduk yang khas dan unik dari  populasi yang ada di Sukadana Tua era Tanjung Pura. Menurut Barth mereka adalah campuran dari orang Melayu dan Dayak serta Jawa yang sudah beragama Islam.

Pada umumnya orang bukit adalah petani dan pekebun.  Mereka dahulunya menetap di lereng Pegunungan Palongan (gunung palung), lalu kemudian bergesar ke wilayah Matan dan Simpang seperti Tjali ( cali ),  Bajangan ( Bayangan), Djagan, dan Rempangi (Bayur rempangi), Koman, Munggoe'-Djering ( mungguk Jering sekarang Matan ) dan sekitarnya. Rata rata dari tiap kelompok mereka memiliki wayang (PJP Barth 1892).

Pada masa perpindahan orang bukit tersebut, di Sukadana wayang  sudah tidak ada lagi, namun di Simpang dan Matan pada saat itu pertunjukan wayang masih sering di lakukan tulis Barth.

Pada masa itu menurut Barth, Sebelum permainan wayang di lakukan , ada beberapa ritual atau syarat tertentu yang harus di lakukan. Di antaranya adalah membuat  sesajen yang di sebut "ancak" (terbuat dari anyaman bambu persegi, yang berukuran 20 cm keliling, di atasnya ditempatkan berbagai sesaji). Setelah itu ritual di lakukan dengan memercikan air yang di sebut tepung tawar  ke beberapa tempat sekitar permainan,  yang di akhiri dengan memercikan tepung tawar kepada para tamu serta wayang yang siap untuk di mainkan.

Dalam proses persiapan ancak atau sesajen, sebelumnya lima ekor ayam disembelih lalu di olah sedemikian rupa, satu telur masak dan satu telur mentah diletakkan di sebelah ayam tersebut.   kemudian nasi rebus di campur dengan sahang  lalu di bungkus dengan daun pisang membentuk kerucut dengan warna berbeda beda seperti putih, kuning, hijau, merah, dan hitam.  

Pewarnaan kuning nasi di buat dengan kunyit, begitu juga wrna merah adalah kunyit yang ditambahkan kapur sirih. Untuk warna hijau dengan campuran daun cabe yang di olah. sedangkan untuk menjadikan warna hitam di olah dengan menambahkan jelaga.

Dari tiap bentuk kerucut tersebut tingginya sekitar satu desi meter, dua dari setiap warna ditempatkan pada masing-masing ancak, ayam yang sudah disiapkan dan dua telur di atas,  dibagikan secara merata di atasnya, dan selanjutnya ditambahkan tiga buah  daun sirih, lima rokok daun, dan sepotong kemenyan.

Untuk setiap ancak,  kemudian diolesi darah ayam pada keempat sudutnya. Saat ritual lima antjak, yang telah disiapkan, ditahan sebentar di atas dupa, tiga buah ancak kemduian di letakkan di luar dengan tujuan untuk persembahan, dan dua digantung di kedua sisi kelir (layar panggung wayang).

Sekilas penampilan Wayang Simpang mirip dengan permainan wayang  Jawa, namun perbedaanya orang yang menonton wayang simpang hanya menonton bayangan saja.  bayangan wayang  di ciptakan melalui pelita berbahan minyak bumi dari belakang kelir ( pangung wayang) sang dalang memainkannya. Jika wayang jawa laangsung dapat di lihat dan menghadap penonton.

Keprak  ( jawa : keprok) dari Wayang Simpang terbuat dari kayu lipat, yang digantung di bagian luar peti wayang, pada saat tertentu setelah dalang berkisah atau di sela sela kisahnya ia memukul keprak dengan kaki. Dari dalam kotak penyimpanan wayang  tersebut  dibungkus dengan tikar, terkadang juga di gantung atau di letakkan pada rak.

Di antara semua tokoh wayang tersebut ada enam yang biasa di mainkan oleh dalang, yang di sebut sebagai  “wayang agal.”  Sedangkan Yang lainnya, berjumlah delapan puluh buah tokoh.  

Perbedaan nama dalam tokoh wayang  jawa dengan  Wayang simpang  ada nama tokoh Ratoe Tjandra Kirana, Nala  dan tokoh semar pada wayang simpang disebut sebagai  denok, tokoh Garèng  di  disebut Toeras, kemduian ada Patih dari Radja Gelang dan lain lainnya.

Bahasa  dalam pertunjukan wayang simpang pada masa itu adalah bahasa Jawa yang sulit di kenal dengan dimainkan tanpa sadar. di identifikasi oleh Barth pada masa itu bahwa bahasa wayang tersebut Tampaknya  adalah bahasa Jawa kuno, hanya ada beberapa kata dan ungkapan yang berhasil di tangkap dan pahami  di antara adalah : di paran, kakang ingsoen, kakang mas, di oendang mréné, déwa, réntjang 'ndika, Radja Brakmana, Koela noewoen sénapati, anak ingsoen, bëtjik, banjoe, kaoela (= kula), sampéjan, gelëm, ora gelëm, wong lanang, noewoen kakang totemënggoeng, sapa, dèrèng, wis késah. (PJP Barth 1892).

Wayang Simpang Saat ini

Wayang Kulit Simpang  dalam masa perkembanganya, seperti banyak saksi hidup yang pernah melihat langsung pertunjukan wayang simpang yang pada tahun 1990an, bahasanya menggunakan bahasa asli Simpang dan dalam kondisi terentu  sang dalang bisa berbahasa Jawa,

Menurut Agus Puhun yang memegang keturunan wayang, cerita atau lakon yang di angkat adalah kisah lokal  dan  sang dalang bisa juga menyesuikan nama tokoh wayang tersebut dengan era moderen. Atau yang paling dekat bisa berkisah  tentan cerita  sejarah kerajaan Matan, Simpang atau Tanjung Pura bahkan era kolonial Belanda. 

Konteks improviasi lakon atau cerita wayang semacam ini dimungkinkan digunakan sang dalang hanya dalam pertunjukan pada masyarakat umum sebagai nilai hiburan, bukan untuk pertunjukan Wayang guna ritual tertentu yang memiliki syarat atau pakem yang berat.

Maka di mungkinkan dari sisi ini, Wayang Simpang masih bisa di hidupkan kembali, walaupun sang dalang sudah tidak ada lagi, namun dapat di pelajari dari bagaimana cara pada masa lampau melalui manuskrip serta cerita tutur.

Jikalau tidak ada lagi dalang yang mampu menggunakan wayang untuk sisi ritual, namun Wayang Simpang dari sisi budaya dan pertunjukan masih ada pelaung untuk kembali di lestarikan pada generasi masa depan agar tidak siran begitu saja di telan zaman. Sebab Wayang simpang  memiliki khas yang tidak sama dengan wayang yang lain, ke khasan ini yang menjadi identiatas  serta nilai jual yang tidak di miliki oleh daerah manapun.

MIFTAHUL HUDA 12 Desember 2020 

 

 


 

Posting Komentar

0 Komentar