Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Semah Laut Dan Jejak Sejarah Di Pulau Karimata

Ritual Semah Laut Karimata

Semah Laut merupakan salah satu dari tradisi ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Karimata sejak ratusan tahun yang silam. Untuk mengetahui asal usul tradisi Semah Laut ini  kita dapat menelisik dari sisi sejarah dan tradisi yang berkembang.


SEJARAH 

Nama Pulau Karimata sudah ada sejak zaman dahulu, menurut tradisi tutur yang berkembang dimasyarakat nama  Karimata berasal dari penyebutan orang pendatang yang bertujuan untuk mencari permata, namun lama kelamaan kata pulau “cari permata” kemudian bergeser menjadi Karimata saja. Pada sebuah peta kuno tahun 1596 masehi yang dibuat oleh kartografer asal prancis yakni petrus plancius, dengan jelas menggambarkan peta borneo dan memberi penanda nama Pulau Karimata pada masa itu dengan sebutan “Crimata”. 

Peta yang di buat oleh Petrus Plancius, 1594

Semntara itu Jejak peradaban di Pulau Karimata sudah tercatat pada masa awal kerajaan Tanjungpura pada abad ke 13 Masehi. Sebagaimana tertulis dalam sebuah manuskrip dari kerajaan Sukadana Baru atau Sukadana New Brussel, yang ditulis oleh Tengku Said sebagai juru tulis kerajaan, yang pada masa itu menuliskan tentang sejarah Kerajaan Sukadana, Matan, Simpang dan Karimata.  lalu kemudian ditulis ulang  dan dilengkapi oleh H. Von Dewall  pada tahun 1835 masehi. 

Manuskrip H Von De wal 1835

Dalam manuskrip tersebut disebutkan tentang asal usul masyarakat Pulau Karimata yang bermula pada masa Prabu Jaya sebagai raja Tanjungpura kedua. Pada masa itu Prabujaya memiliki seorang permaisuri dan selir. 


Pernikahan dengan permaisuri melahirkan raja Baparung yang menjadi penerus kerjaan Tanjungpura serta mewariskan suku Kaum dan Priyayi. Sedangkan dari selir memiliki dua orang anak yakni ; Baputie Soewarsa melahirkan suku Mambal yang mendiami perbukitan sehingga kemudian disebut sebagai suku bukit.  Sedangkan adiknya adalah Demang Mangarang yang menurunkan suku Siring dan Mengkalang, yang mendiami wilayah pantai seperti Pulau Karimata, Penebang, Pelapis, Padang tikar, Bumbun dan sekitarnya. 

Manuskrip H Von De wal 1835


Selanjutnya keturunan Demang Mangarang  melahirkan suku siring dan mengkalang ini lebih dikenal dengan panggilan orang Mayak, karena mereka menamai  salah satu pulau yang mereka diami  dengan nama Pulau Maya, saat ini menjadi nama Kecamatan Pulau Maya yang merupakan wilayah Kabupaten Kayong Utara. 


Pulau Karimata dimasa lalu merupakan tempat yang strategis, maka sering menjadi tempat aktivitas serta persinggahan. Bahkan menjadi sarang dari para kelompok Lanun atau yang di kenal dengan nama Bajak Laut. Tercatat beberapa kelompok bajak laut pernah bermarkas di Pulau Karimata dan sekitarnya.  bahkan diantara kelompok kelompok lanun tersebut tak segan segan  mengganggu Suku Siring sebagai penduduk asli Karimata. 


Hingga pada sekitar tahun 1765 Tengku Bungsu dari siak datang ke Pulau Karimata bersama pasukan laut yang dipimpin oleh Batin Galang  yang berasal dari Lingga kepulauan Riau, yang pada masa itu Lingga merupakan bagian dari kesultanan Malaka.

 

Manuskrip H Von De wal 1835

Rombongan Tengku Bungsu dan Pasukan laut yang dipimpin Bathin Galang  ini akhirnya berhasil mengusir beberapa kelompok bajak laut yang sangat menganggung di Pulau Karimata. Selanjutnya Bathin Galang  menjadi penguasa di Karimata. Sedangkan Tengku Bungsu bersama para pengikutnya menaklukan Kendawangan atau Tanjung Sambar.  Pada masa itu Tanjung sambar masih teritorial dari wilayah Kesultanan Matan dibawah kepemimpinan Indralaya, bergelar sultan Ahmad Kamaluddin, yang memerintah dari tahun 1762 hingga tahun 1790 Masehi. 


Dalam ekpedisinya Tengku Bungsu meninggal, ia kemudian diberi gelar Merhum Mangkat Dimangkoe oleh pengikutnya. Selanjutnya penguasaan Bathin Galang atas Pulau Karimata tunduk dibawah kekuasaan Sultan Ahmad Kamaluddin sebagai penguasa Kesultanan Matan yang beribukota di Sukadana pada masa itu. 


Hubungan baik Bathin Galang dengan Kesultanan Matan dibuktikan dengan pengiriman upeti secara berkala kepada Kesultanan Matan. Namun kemudian pada tanggal 23 November 1822 Pulau Karimata melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Matan, dan bergabung dengan pemerintah Hindia Belanda.  


Akibat hal tersebut hubungan Batin Galang menjadi memburuk dengan Kesultanan Matan. Akhirnya pada bulan Desember tahun 1827, sebanyak 22 perahu bersenjatan Kesultanan Matan menyerang Pulau Karimata, dan Bathin Galang  terbunuh dalam pertempuran tersebut. 


Selanjutnya Tengku Dja`far sebagai adik dari Tengku Akil kerajaan Sukadana baru atau New Brussel, kemudian ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi penguasa baru di Pulau Karimata dengan membangun pemukiman lama di Sungai Palembang, kemudian berlanjut sampai pada masa pemerintahan Republik Indonesia, hingga saat ini.


PJP Barth 1892, Silsilah Tengku Dja`far

Dari perjalanan sejarah yang berlangsung hingga ratusan tahun tersebut, dapat menjadi petunjuk untuk mengidentifikasi penduduk Karimata yang terdari dari beberapa bagian, yakni Suku Siring dan Bengkalang, yang merupakan keturunan Demang Mangarang yakni anak ke dua dari Prabujaya, Raja Tanjungpura yang menikah dengan penduduk lokal. 


Kedua adalah keturunan dari para suku Irlanun (lanun) sebagai penguasa perairan karimata yang berasal dari sulu atau Filipina saat ini, dan selanjutnya adalah keturunan Batin Galang  yang berasal kerajaan Lingga, dan keturunan Tengku yang berasal dari kerajaan Siak, serta para pendatang lain yang berasal dari pulau sekitar seperti; Pulau Belitung, Bugis, bahkan Cina dan lain sebagainya. 


SEMAH LAUT DAN PERKAWINAN BUDAYA 

Interaksi masyarakat Pulau Karimata yang berasal dari berbagai latar belakang selama beratus ratus tahun kemudian membentuk sebuah budaya yang unik. Salah satunya adalah tradisi ritual Semah Laut yang saat ini masih dipertahankan oleh penduduk karimata, khususnya Desa Padang Kecamatan Kepulauan, Kabupaten Kayong Utara Kalimantan Barat. 


Dalam tradisi Semah Laut sendiri terdapat beberapa perkawinan antar budaya, baik penduduk pendatang maupun pribumi, atau yang terlebih dahulu mendiami Pulau Karimata. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya; dari mulai  penamaan tradisi Semah Laut, tarian, musik, syair dan peralatan ritual serta istilah istilah yang digunakan oleh para pemimpin ritual. 


Arti Semah adalah, sebuah jamuan makanan yang diberikan kepada hantu atau orang halus. Kata semah merupakan pengaruh dari bahasa melayu yang sering dipakai pada masa kejayaan Malaka, yang pada masa itu juga pernah membawahi daerah lingga, dimana daerah itu adalah kampung halaman Batin Galang, yang kemudian ia bersama pasukan lautnya mendiami Pulau Karimata pada tahun 1765  bersama rombongan Tengku Bungsu. 


Jika dilihat dari kebiasaanya yang hidup dilaut dan juga sebagai pemimpin pasukan laut, maka Batin Galang yang kemungkinan memperkenalkan ritual Semah Laut kepada penduduk Karimata, yang kemudian menjadi kebiasaan turun temurun hingga saat ini. 


Dalam acara ritual Semah Laut tidak dapat dipisahkan juga dengan tarian dan musik, serta syair yang selalu mengiringi, baik dalam acara pembukaan hingga arakan dan pelepasan Jung ( kapal). Jika diperhatikan dari alunan musik dengan tiga buah gendang dan dua buah gong, atau tetawak serta tarian yang sederhana mengelilingi Jung tersebut, sekilas mirip dengan musik serta tarian yang dibawakan oleh beberpa masyarakat Dayak, pada saat melakukan ritual tertentu. Misalnya  Suku Dayak yang paling dekat dengan wilayah pesisir, adalah Suku Dayak Simpank dan Suku Dayak Kayong. 


Dalam tradisi Dayak Simpank, untuk ritual pengobatan atau yang  dikenal dengan istilah baboren, juga diiringi musik serta tarian yang khas. Jika di amati secara seksama antara rentak dan alunan musiknya memiliki kesamaan dengan musik serta tari yang mengiringi ritual Semah Laut di Pulau Karimata. 


Begitu juga dengan lantunan nada yang diiringi musik, dalam acara Semah Laut menggunakan bait syair melayu lama, namun sekilas nadanya mirip dengan nada seni Bedudu atau Betoto yang di miliki oleh salah satu sub Suku Dayak serta masyarakat melayu Simpang Matan. Tampaknya dari satu paket musik, tarian dan syair yang mengiringi ritual acara nyemah laut di Karimata ini, memiliki hubungan yang erat dengan beberapa tradisi yang ada pada sub Suku Dayak serta Melayu Simpang Matan. 


Jika menelisik pada bagian awal yang telah disebutkan sebelumnya, tentang penduduk Karimata dimasa masa awal awal kerajaan Tanjungpura, dimana Raja Prabu Jaya memiliki dua orang anak dari salah seorang selir yang bernama Baputi suwarsa dan Demang Mangarang. Dimana Baputeh Suwarsa kemudian melahrikan suku mambal atau orang bukit, yang pada masa kini sebagian menjadi suku Dayak dan yang masuk Islam menjadi suku Melayu. Kemudian Demang Mangarang  melahirkan suku Siring dan Bengkalang yang mendiami kawasan pesisir, dan  kerap disebut sebagai orang Mayak, saat ini mereka menjadi bagian dari rumpun besar Suku Melayu. 


Pada masa itu baik keturunan Bapoteh Soewarsa dan demang mangarang, masih memiliki tradisi dan budaya yang sama walaupun berbeda tempat tinggal. Namun seiring berjalannya waktu perbedaan itu kian nyata, sebab mau tidak mau keturunan Demang Mangarang yang diam dipesisir  sering berinteraksi dengan orang orang pendatang, bahkan melakukan kawin campur serta interaksi budaya serta lain sebagainya. Sedangkan keturunan Bapoteh suwarsa, karena mereka tinggal dipedalaman, cenderung tradisinya lebih terjaga keaslinya, sebab pada masa itu sedikit sekali interaksi penduduk luar dengan mereka. 


Dari teori tersebut diduga Tarian dan musik serta lantunan lagu, dalam mengiringi acara Semah Laut di Karimata saat ini memliki akar budaya  yang sama, sebab berasal dari keturunan yang sama, yakni trah Prabu jaya yang pada masa itu menjadi penguasa Tanjungpura. 


Dengan demikian Tarian dan musik serta lantunan lagu, dalam mengiringi acara Semah Laut adalah peninggalan dari tradisi suku Siring dan suku bengkalang kuno, yang pada masa sebelumnya telah mengalami asimilasi dengan tradisi yang dibawa oleh para pendatang berikutnya, yakni rombongan Batin Galang  dan Rombongan Tengku serta yang lainnya. 


Pengaruh budaya lain dalam ritual Semah Laut juga bisa dilihat dalam membuat bahan bahan untuk sesajen atau yang kerap disebut dengan perabahan. Namun secara umum didalam alam melayu bahan bahan atau perabahan yang digunakan oleh para dukun ini sangat umum dipakai oleh para penganut tradisi melayu klasik, yang saat ini masih berkembang diwilayah Kepulauan Sumatra dan sekitarnya. 


WAKTU DAN PROSESI RITUAL SEMAH LAUT

Berdasarkan waktunya, Semah Laut ini digelar ketika perubahan musim angin laut telah berubah, dimana saat itu pertanda musim Ikan tenggiri telah habis, yakni pada akhir bulan maret. Sehingga diawal april ritual Semah laut ini dilakukan, sebagai wujud syukur serta harapan terhadap musim tangkap ikan selanjutnya, hingga tahun depan dan seterusnya. 


Ritual Semah Laut ini dipimpin oleh empat orang  dukun darat dan tiga orang dukun laut,  yang semuanya berjumlah tujuh orang dukun.  Dua golongan dukun ini merupakan makna simbolik dari keturunan Batu Hitam dan Batu putih.  Batu hitam adalah keturunan dari Batin Galang sedangkan batu putih merupakan keturunan dari trah tengku Dja`far ataupun yang dikenal dengan nama Tengku Abdul Jalil. 


Selanjutnya dari ketujuh orang dukun ini kemudian bersepakat untuk memilih satu ketua dukun, sebagai orang yang dituakan dan bertanggung jawab terhadap semu prosesi Semah laut yang dilakukan. Menjadi dukun di Pulau Karimata memiliki kriteria khusus diantaranya adalah memiliki sifat Sabar, ikhlas, memahami tentang berbagai macam prosesi ritual adat, memiliki wawasan sejarah serta yang paling penting memiliki panggilan jiwa terhadap pelestarian adat dan budaya. 


Dengan syarat yang demikian, artinya kharisma sebagai pemimpin tradisional akan terpancar, sehingga masyarakat kemudian menganggapnya sebagai orang yang memiliki keistimewaan, dan layak menjadi dukun kampung yang dipercaya bisa menjaga mereka. 


Sebelum acara semah dimulai, mereka wajib menyiapkan media ritual berupa kapal kecil yang disebut Jung serta balai, yakni tempat yang berbentuk rumah, dan nantinya akan diisi dengan berbagai sesajen atau perabah. 


Untuk membuat Jung dan Balai ini dilakukan oleh orang orang Keturunan Siring serta Mengkalang yang juga di sebut orang Mayak. Sedangkan pembuatan sesajen atau perabah ini dipimpin langsung oleh  ketua dukun bersama pendampingnya atau yang disebut Pebayu. Proses pembuatan perabah ini memakan waktu satu hari penuh, dari mulai pagi hingga menjelang sore. Setelah semuanya selesai, maka ketua dukun akan memeriksa kembali satu persatu perabah yang ada. 


Pembukaan Ritual Semah Laut Dan Tarian Penyambutan 

Setelah semua siap, prosesi acara Semah Laut akan dibuka pada malam hari. Mula mula kelompok dukun darat dan dukun laut melakukan prosesi ritual mengantarkan sesajen ke dua arah, yakni darat dan laut pertanda acara Ritual Semah akan dimulai. 


Ketika prosesi ini sudah dimulai maka semua masyarakat wajib memenuhi pantang dan larang. diantara pantangan itu adalah, selama tiga hari kedepan masyarakat tidak boleh pergi bekerja ke laut maupun ke darat, termasuk bekerja mencari ikan ataupun berburu dan menebang pohon. Apabila ada yang melanggar pantangan tersebut,  maka wajib dikenai denda, yakni membuat ketupat sebanyak seribu buah, yang nantinya akan dibacakan do`a tolak balak, dan disedekahkan kepada masyakat sekitar. 


Rangkaian acara ritual pembukaan berikutnya yang dimulai pada malam hari, yang ditandai oleh suara musik dari dua jenis alat musik perkusi tradisional, yakni gendang dan gong. Para dukun berkumpul dan mewakilkan pada seorang ketua dukun, untuk memulai proses sakral dalam acara pembukaan Semah Laut tersebut. 


Sang ketua dukun, membawa  sejenis bokor yang penuh dengan kepulan asap  lalu berkeliling untuk mengasapi jung, sambil memasukkan  bahan-bahan sesajian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, para penari dengan  kostum yang menutupi bagian kepala hingga badan, layaknya para makhluk halus ini, mulai menari nari disekitar miniatur jung. 


Mereka menari mengikuti suara tabuhan gendang dan gong yang dipukul. Mula mula mereka menari sambil mengitari miniatur jung, namun kemudian mengangkat miniatur jung dan balai disertai gerakan tarian yang terus berputar dihalaman. tarian yang mereka lakukan ini menggambarkan keterlibatan para makhluk halus yang ikut bergembira, dan bersukacita dalam sebuah pesta.


Ritual Mengelilingi Pulau Karimata 

Keesokan harinya para dukun dan peserta ritual berkumpul dengan membawa perlengkapa masing-masing. Untuk kelompok yang dipimpin dukun darat  akan membawai balai, dengan mengelilingi Pulau Karimata, serta menyinggahi beberapa lokasi yang dianggap keramat. Sementara kelompok yang dipimpin oleh ketua dukun akan membawa miniatur jung , untuk langsung menuju ke Tanjung Serunai.   Tanjung serunai akan menjadi puncak dari pelaksanaan prosesi ritual Semah Laut Karimata pada ke esokan harinya.


Sekitar pukul 8.00 pagi, ke dua kelompok ini menyusuri Sungai Palembang, kelompok pertama membawa balai yang di pimpin dukun darat menuju dermaga sebagai lokasi tambatan kapal, yang akan mereka gunakan untuk berkeliling Pulau Karimata. Sedangkan kelompok kedua yang membawa miniatur jung di pimpin oleh ketua dukun menuju Tanjung Serunai.


Sesampainya di tanjung serunai mereka memikul miniatur Jung, dan menempatkannya ditepi pantai sampailah menunggu waktu yang tepat untuk melepaskannya. Dengan peralatan dan bekal apa adanya mereka menginap di tanjung serunai, tak jarang mereka harus  kedinginan karena harus kehujanan, makan apa adanya, tanpa lauk pauk, serta memasak dengan peralatan sederhana adalah hal yang biasa bagi mereka. 


Namun bagi mereka, hal tersebut merupakan sebuah pengorbanan demi keselamatan kampung dan para penghuninya. Sambil menunggu pelepasan jung pada keesokan harinya, mereka melakukan berbagai aktivitas dialam bebas hingga malam hari. 


Sementara kelompok pertama yang dipimpin oleh dukun darat dengan misi mengelilingi pulau, sudah sampai di perairan Tanjung Ruh. Disana mereka sempat berputar putar selama tiga kali, sebagai bentuk penghormatan kepada seorang tokoh dukun yang ada disana. 


Selanjutnya mereka singgah sebentar di Dermaga Tanjung Ruh, karena mereka melihat dari masyarakat yang ada di dermaga memberikan kode jika akan memberi mereka perbekalan makanan. Selanjutnya perjalanan mereka lanjutkan, menuju Keramat tanah merah yang berjarak 3 mil dari pelabuhan tanjung ruh. 


Lokasi ini memiliki pantai pasir putih yang cenderung landai sehingga perahu tidak bisa menepi atau berlabuh di tepian. Sehingga peserta ritual harus mengarungi air dengan membawa balai serta ancak yang akan dibawa ke atas bukit tanah merah.


Keramat Tanah Merah ini dipercaya masyarakat sebagai pusat bersemayamnya para makhluk gaib Pulau Karimata yang ada didarat. Ritual disini dilakukan supaya keberadaan para makhluk gaib tersebut tidak mengganggu kehidupan masyarakat sekitar. 


Setelah tiba di lokasi Tanah Merah, miniatur balai beserta sesajiannya diletakkan diatas tanah. Kemudian salah seorang dukun  membakar sesuatu dengan bantuan sabut kelapa kering. Sementara itu, dukun yang lainnya merapal doa sambil melepas ayam ke bagian dalam balai, dan ayam tersebut kemudian memakan beberapa makanan yang telah di warnai.  


Menurut kepercayaan berdasarkan warna tersebut menandakan petunjuk tentang kecenderungan rezeki yang akan diperoleh pada tahun berikutnya. Apabila warna hitam dan kuning mewakili rezeki di laut, sedangkan warna merah dan putih mewakili rezeki di darat. 



Setelah prosesi berakhir, mereka pun kembali ke perahu dan melanjutkan perjalanan ke lokasi berikutnya yang berada di batu keramat palong paoh. Batu keramat Palang Paoh merupakan gugusan atau kumpulan bebatuan di perairan pesisir laut yang bagian atasnya timbul ke permukaan. Lokasi batu palang paoh ini sendiri sebenarnya tidak terlalu jauh dari lokasi  keramat Tanah Merah. Prosesi di keramat palong paoh ini hanya meletakkan ancak atau sesajian yang digantung pada sebuah tangkai kayu dilokasi keramat Batu Palang Paoh ini.


Perjalanan selanjutnya mereka menuju perairan Tanjung Kalong, dilokasi ini mereka tidak berhenti, melainkan hanya berputar tiga kali memberikan penghormatan sambil membaca doa tolak balak. Selanjutnya perjalanan mereka lanjutkan ke Dusun Kelumpang yang masuk dalam wilayah Desa Betok Jaya.


Sesampainya di Dermaga Kelumpang, mereka disambut oleh masyarakat sekitar yang juga bagian dari peserta Semah Laut dengan cara yang unik, yakni naik ke kapal lalu menarik para tamu yang ikut keliling pulau dan menceburkannya ke laut sebagai bentuk rasa  sukacita. Selanjtnya para rombongan  singgah  dan istirahat dan bermalam di kelumpang, sambil menikmati sajian makanan yang telah disediakan oleh tuan rumah.


Pada malam hari tuan rumah menyajikan hidangan khas, yakni bubur dari bahan pohon sagu hutan  untuk para tamu, setelah itu para tamu pemain topeng dan musik tradisional kembali tampil menghibur warga dengan cara unik, yakni semacam mengerjai siapapun yang ada dikampung tersebut. 


Sambil diiringi musik tradisional, awalnya para peserta yang memakai topeng hanya menari nari biasa, namun tiba tiba salah satu diantara mereka kemudian mengejar penonton atau siapapun. Apabila dapat, maka mereka langsung mengguyurnya dengan air, bahkan air yang di guyurkan terkadang adalah air comberan atau oli bekas. 


Tradisi ini bagi mereka adalah hal yang biasa, bahkan seru sekaligus menegangkan. Bagi siapapun yang terkena siram air tersebut sudah paham dan tidak ada yang boleh marah. Menurut kepercayaan masyarakat, apabila terkena siaraman air kotor tersebut, mereka menganggap sial yang ada dalam diri mereka akan hilang. 


Keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan menuju Betok, diperairan Betok mereka hanya berputar sebanyak tiga kali, lalu melanjutkan perjalanan menuju Pulau Karimata Tua untuk melakukan ritual selanjutnya. Pulau Karimata Tua ini dianggap penting dan sakral bagi mereka, bahkan ada anggapan bila kita belum menginjakkan kaki di Karimata Tua ini maka hakikatnya kita belum sampai di Pulau Karimata yang sesungguhnya. 


Pulau Karimata Tua ini hanyalah bebatuan cadas yang jaraknya tidak begitu jauh dengan Pulau Karimata besar, hanya dipisahkan jarak beberapa puluh meter dengan air yang dangkal. Oleh karena itu para peserta ritual tidak bisa merapat di pulau ini, melainkan harus turun ke air dan berjalan dengan hati hati menuju Pulau Karimata tua tersebut. 


Adapun dalam prosesi ritual di Karimata Tua ini, mereka juga melepas seekor ayam disertai ancak dan sesajian untuk persembahan terhadap mereka yang dianggap menjadi penunggu Karimata Tua. Kegiatan kemudian di akhiri dengan doa sesuai dengan ajaran Islam. 


Lokasi terakhir yang disinggahi oleh perahu peserta ritual keliling Pulau Karimata adalah Batu Betongkat. Prosesi ritual di Batu Betongkat ini merupakan penutup dari  prosesi ritual di lokasi-lokasi yang dianggap keramat sebelumnya. Disini mereka memanjatkan do`a serta meletakkan ancak dengan berbagai sesajian, dan mengambil air dari sebuah sumber mata air, yang dianggap dapat memberikan berkah bagi mereka. Perjalanan selanjutnya kemudian mereka lanjutkan untuk menuju tanjung serunai sebagai tempat acara puncak. 


Sementara itu di Tanjung serunai kelompok ritual yang dipimpin oleh ketua dukun telah bersiap siap sejak pagi hari. Siang itu mereka akan melakukan pelarungan miniatur Jung, sambil menunggu  rombongan yang melakukan keliling pulau. Sesekali mereka menabuh alat-alat musik tradisinal, para penontonpun sudah mulai banyak yang berdatangan, menyaksikan detik detik acara puncak Semah Laut. 


Tepat di hadapan mereka, miniatur jung berdiri menunggu saatnya untuk dilarung ke tengah laut. ketika angin mulai mengubah arahnya ke tengah laut, prosesi ritualpun dimulai. Tampak sang ketua dukun  merapal do`a  sambil memeriksa beberapa bahan sesajian. 


Tak lama berselang, sambil mengelilinginya sang ketua dukunpun menepuk bagian depan badan jung, menggunakan telapak tangan kanannya. Tepukan ini menandai bahwa miniatur jung telah siap untuk dilarungkan ke arah laut. 


Beberapa orang kemudian mengangkat miniatur jung dan membawanya kearah laut, disertai dengan gerak tari yang diiringi musik yang khas, dan penonton yang juga turut bersuka cita mengiringi serta menyaksikannya. 

Banyak dari penonton yang kemudian juga ikut bersorak sorai, seakan akan mereka turut merasakan kegembiraan yang sama. Tidak lama setelah itu, barulah mereka membawa miniatur jung ke bagian pantai yang lebih dalam dan melarungkannya ke laut.  


Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara mesin kapal klotok datang. tak lain dan tak bukan mereka adalah rombongan ritual semah yang keliling pulau. Melihat hal itu tak ayal lagi, para peserta yang telah melakukan prosesi pelarungan jung, dengan sigap langsung menaiki kapal untuk melakukan aksi penyambutan yang cukup seru dan menegangkan, yakni aksi saling lempar dengan buah pinang yang sudah disediakan diatas geladak kapal masing masing. 


Ketika kapal  sudah saling berdekatan, aksi saling  lempar dari atas kapal tak dapat terhindarkan. bahkan, beberapa penonton yang sudah berdiri ditepian dermaga juga ikut melempar, sehingga menambah suasana semakin seru dan menegangkan.  Ketika salah satu pihak  terpojok karena akan kehabisan peluru berupa buah pinang atau biji bijian, maka ia akan lari menjauh, dan akan di kejar oleh kapal yang masih memiliki amunisi yang cukup. Peserta di dermaga lainpun kadang juga tak luput dari serangan,  namun semua sudah paham bahwa itu  merupakan bagian dari permainan untuk memeriahkan acara Semah Laut. 


Aksi saling  lempar ini  sangat seru sekaligus menegangkan,  Sebab momen ini  hanya terjadi setahun sekali dan menjadi bagian dari penutup kegiatan Semah Laut. Dalam aksi lempar melempar ini kadang ada yang cidera, namun mereka tak satupun yang merasa dendam atau sakit hati, sebab semua sudah berjanji tidak boleh ada dendam ataupin saling memusuhi, sehingga mereka menganggap hal tersebut bukanlah masalah. 


Setelah aksi lempar melempar usai, mereka bersama sama kemduian kembali ke titik utama dengan berjalan kaki dari mulai dermaga Padang ke Sungai Palembang dengan jarak tempuh sepanjang 2 Km menyusuri tepian pantai, lalu naik ke darat, dan pulang kerumah masing masing dengan penuh suka cita sebab telah menunaikan gawai rutin tahunan mereka yakni Semah Laut . 


MIFTAHUL HUDA  (25 Mei 2022)




Posting Komentar

0 Komentar