SEJARAH BETUTO DI NEGERI SIMPANG
Oleh Isya Fahrudi
Orang
Simpang adalah sebuah entitas etnis budaya yang tumbuh dan berkembang dengan
corak budaya yang mempunyai karakteristik sendiri. Dominasi Suku Melayu dengan
imbuhan suku Dayak, Jawa, Bugis dan Tionghua menjadikan Orang Simpang sebagai
Suku Melayu yang sudah tidak lagi bisa dibilang asli.
Salah satu
budaya yang mengiringi kehidupan keseharian Orang Simpang adalah seni bercerita
yang di sampaikan dari mulut ke mulut yang disebut dengan Betuto. Tradisi Betuto
bisa kita persamakan dengan seni cerita rakyat, folklor, atau berkisah. Betuto sendiri tentu tidak terlepas dari
seni cerita rakyat yang juga menjamur di kepulauan Nusantara. Keberadaan tradisi
Betuto di Negeri Simpang tidaklah terlepas
dari pengaruh budaya yang ada di Nusantara, namun mempunyai ke-khas-an
tersendiri, seperti isi cerita, cara penyampaian cerita, bahasa dan langgam
serta irama.
Kata “betuto” ini berasal dari kata “tutur”
yang berarti percakapan. Kata “tutur” mendapat imbuhan “ber” sehingga menjadi
bertutur, tetapi kemudian dalam dialek Melayu Simpang dilafalkan menjadi “betuto”.
Tradisi Betuto merupakan salah satu seni budaya yang tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan Orang Simpang selain pantun, Mendu, Syair, dan Wayang. Mendu,
Syair dan Wayang dilakukan dengan cara pementasan, sementara Betuto dan Pantun dilakukan dalam
sela-sela kehidaupan keseharian masyarakat. Betuto
lebih lazim dituturkan kepada anak-anak sebagai pengantar tidur malam, sehingga
lebih banyak dilakukan oleh ibu-ibu, walaupun tidak sedikit bapak-bapak juga
melakoni seni betuto ini dalam kesempatan istirahat dalam keluarga. Betuto yang menjadi bahagian kehidupan
Orang Simpang selalu menyimpan pengajaran tentang kebaikan disamping sesekali
menampilkan kelucuan dan keharuan. Seni ini akhirnya menjadi sarana pengajaran
dan hiburan sekaligus berfungsi membangun interaksi sosial dan budaya.
Jenis cerita yang berkembang dalam
tradisi Betuto ini ada yang bersifiat
mitos (mite), seperti berorientasi
pada kayangan, dewa-dewa,dan hewan raksasa. Ada juga yang bersifat legenda,
yang menghubungkaitkan dengan kejadian masa lampau, tempat dan tokoh tertentu.
Disamping ada sebagian benar-benar berupa cerita rekaan yang tiada terhubung
dengan tokoh, tempat dan kejadian yang ada di Tanah Simpang. Cerita dalam
tradisi Betuto juga kadang
menampilkan tokoh manusia, binatang, tumbuhan, lokasi dan kejadian, sehingga
membawa pendengar berimajinasi diluar batas kewajaran keseharian.
Tentu
tidaklah mudah menggali sejarah tradisi Betuto.
Selain seni ini yang hadir sebagai seni yang dituturkan secara turun temurun,
ditambah minimnya sumber tertulis tentang keberadaan dan perkembangan seni Betuto ini, sehingga pada umumnya pelaku
seni Betuto ini sudah tidak tahu lagi siapa yang
menciptakan, kapan mulai di-tuto-kan,
sehingga agak sulit melacak kapan sebenarnya seni Betuto ini mulai ada.
Adalah Georg Muller, perutusan Pemerintah
Belanda yang datang ke Negeri Simpang dan Matan tahun 1822 untuk merekam
sejarah dan budaya. Dalam laporan tentang sejarah, Georg Muller menyebut “memang tidak mengherankan bahwa dalam sejarah Matan
kebenaran dan penambahan bercampur aduk. Lagi pula, cerita
rakyat biasanya dibangun menjadi kebenaran”. Georg Muller sepertinya
kesulitan memisahkan mana kebenaran sejarah dan mana cerita rakyat, sehingga
kita dapat merekam bahwa pada saat itu saja, cerita rakyat sudah ada dan
berkembang di negeri ini. Namun tentu tidak ada sumber pasti kurun waktu kapan
seni Betuto ini mulai hadir dalam kehidupan budaya masyarakat Simpang. Sehingga
dapat di sebutkan bahwa Seni Betuto ini telah muncul sejalan dengan berdirinya
Kerajaan Simpang.
Cerita rakyat Laut Ketinggalan, yang
mengisahkan tentang seorang putri raja yang diramalkan akan menemui ajal
dimakan buaya. Sang Putri berkeinginan mandi di laut, sehingga ayahnya sang raja demi keselamatan
tuan putri harus membuatkan kolam dan buaya tiruan dari kayu. Naas, tangan tuan
Putri luka tergores gigi buaya yang terbuat dari kayu, sehingga luka itulah
yang akhirnya membawa kematian sang putri. Kolam yang dimaksud terletak di Desa
Matan Jaya sekarang, yang dibangun pada zaman Giri Mustika sebagai Sultan Matan
abad 17, sebagai bagian sistem pengairan perladangan pada saat itu. Setting
cerita yang mengambil latar sejarah era Giri Mustika tentu membuka pemikiran
kita bahwa cerita ini sudah begitu tua hadir ditengah masyarakat, walaupun,
lagi-lagi, kita sulit mendapatkan data kapan persis cerita ini muncul dalam
budaya Simpang.
Silsilah Kerajaan Simpang yang ditulis
oleh Gusti Muhammad Kasim (Pangeran Adi) bin Gusti Panji tahun 1891, yang
kemudian Silsilah ini dialihaksarakan oleh Gusti Maerad tahun 1956. Gusti
maerad adalah keponakan Gusti Muhammad Kasim. Silsilah ini merupakan rekaman
sejarah kerajaan Tanjungpura, Matan hingga Simpang. Namun secara kritis, kami
menemukan percampuran alur sejarah dengan cerita rakyat berkelindan terangkai
seakan menjadi sebuah kebenaran sejarah. Sehingga dapatlah kita menelisik bahwa
dalam kurun waktu penyusunan dan penilisan silsilah tersebut di Negeri Simpang
tengah tumbuh dan berkembang budaya cerita rakyat atau Betuto.
Oleh Karenanya, tradisi Betuto ini sesungguhnya sudah ada dalam kehidupan
masyarakat sejak awal berdiri Kerajaan Simpang.
Tradisi Betuto ini tentu tidak terlepas dari istana
kerajaan sebagai pusat pemerintahan dan simpul budaya dimasa lalu. Beberapa
narasumber berkeyakinan bahwa tradisi Betuto ini dahulu diproduksi di istana. Juru
Tulis istana yang juga sekaligus sebagai pujangga kerajaan, kemudian mempunyai
kebiasaan membuat cerita-cerita baru dan selanjutnya menyebar kemasyarakat dan
dilakoni sebagai tradisi Betuto.
Oleh karena sebagian besar cerita Betuto ini dibuat di istana, maka tidak heran
sebagian besar alur cerita dalan tradisi ini merupakan cerita yang
istanasentris. Pola cerita yang memasukan unsur-unsur dan simbol-simbol
kerajaan didalamnya. Dan cerita dalam tradisi Betuto yang istanasentris ini dapat
memberikan penjelasan bahwa fungsi kerajaan dan istana juga menjadi simpul budaya,
tak hanya sebagai fungsi kekuasaan.
0 Komentar