Ticker

6/recent/ticker-posts

SEJARAH SENI BERTUTUR (BETUTO) DI NEGERI SIMPANG

SEJARAH BETUTO DI NEGERI SIMPANG

Oleh Isya Fahrudi


Negeri Simpang adalah sebuah identitas budaya dan geografis yang berakar pada aliran Sungai Simpang. Kerajaan dengan nama Simpang telah wujud sejak 1735 di wilayah ini, membentang dari
Kecamatan Simpang Hilir, Kecamatan Teluk Batang, Kecamatan Pulau Maya dan Kecamatan Seponti Kabupaten Kayong Utara, serta Kecamatan Simpang Dua dan Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Kerajaan Simpang telah pula membangun corak budaya sendiri, sehingga mereke yang berdiam di wilayah ini sering disebut dengan Orang Simpang.

Orang Simpang adalah sebuah entitas etnis budaya yang tumbuh dan berkembang dengan corak budaya yang mempunyai karakteristik sendiri. Dominasi Suku Melayu dengan imbuhan suku Dayak, Jawa, Bugis dan Tionghua menjadikan Orang Simpang sebagai Suku Melayu yang sudah tidak lagi bisa dibilang asli.

Salah satu budaya yang mengiringi kehidupan keseharian Orang Simpang adalah seni bercerita yang di sampaikan dari mulut ke mulut yang disebut dengan Betuto. Tradisi Betuto bisa kita persamakan dengan seni cerita rakyat, folklor, atau berkisah. Betuto sendiri tentu tidak terlepas dari seni cerita rakyat yang juga menjamur di kepulauan Nusantara. Keberadaan tradisi Betuto di Negeri Simpang tidaklah terlepas dari pengaruh budaya yang ada di Nusantara, namun mempunyai ke-khas-an tersendiri, seperti isi cerita, cara penyampaian cerita, bahasa dan langgam serta irama.

Kata “betuto” ini berasal dari kata “tutur” yang berarti percakapan. Kata “tutur” mendapat imbuhan “ber” sehingga menjadi bertutur, tetapi kemudian dalam dialek Melayu Simpang dilafalkan menjadi “betuto”.

Tradisi Betuto merupakan salah satu seni budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan Orang Simpang selain pantun, Mendu, Syair, dan Wayang. Mendu, Syair dan Wayang dilakukan dengan cara pementasan, sementara Betuto dan Pantun dilakukan dalam sela-sela kehidaupan keseharian masyarakat. Betuto lebih lazim dituturkan kepada anak-anak sebagai pengantar tidur malam, sehingga lebih banyak dilakukan oleh ibu-ibu, walaupun tidak sedikit bapak-bapak juga melakoni seni betuto ini dalam kesempatan istirahat dalam keluarga. Betuto yang menjadi bahagian kehidupan Orang Simpang selalu menyimpan pengajaran tentang kebaikan disamping sesekali menampilkan kelucuan dan keharuan. Seni ini akhirnya menjadi sarana pengajaran dan hiburan sekaligus berfungsi membangun interaksi sosial dan budaya.

Jenis cerita yang berkembang dalam tradisi Betuto ini ada yang bersifiat mitos (mite), seperti berorientasi pada kayangan, dewa-dewa,dan hewan raksasa. Ada juga yang bersifat legenda, yang menghubungkaitkan dengan kejadian masa lampau, tempat dan tokoh tertentu. Disamping ada sebagian benar-benar berupa cerita rekaan yang tiada terhubung dengan tokoh, tempat dan kejadian yang ada di Tanah Simpang. Cerita dalam tradisi Betuto juga kadang menampilkan tokoh manusia, binatang, tumbuhan, lokasi dan kejadian, sehingga membawa pendengar berimajinasi diluar batas kewajaran keseharian.

 

Tentu tidaklah mudah menggali sejarah tradisi Betuto. Selain seni ini yang hadir sebagai seni yang dituturkan secara turun temurun, ditambah minimnya sumber tertulis tentang keberadaan dan perkembangan seni Betuto ini, sehingga pada umumnya pelaku seni Betuto  ini sudah tidak tahu lagi siapa yang menciptakan, kapan mulai di-tuto-kan, sehingga agak sulit melacak kapan sebenarnya seni Betuto ini mulai ada.

Adalah Georg Muller, perutusan Pemerintah Belanda yang datang ke Negeri Simpang dan Matan tahun 1822 untuk merekam sejarah dan budaya. Dalam laporan tentang sejarah, Georg Muller menyebut “memang tidak mengherankan bahwa dalam sejarah Matan kebenaran dan penambahan bercampur aduk. Lagi pula, cerita rakyat biasanya dibangun menjadi kebenaran”. Georg Muller sepertinya kesulitan memisahkan mana kebenaran sejarah dan mana cerita rakyat, sehingga kita dapat merekam bahwa pada saat itu saja, cerita rakyat sudah ada dan berkembang di negeri ini. Namun tentu tidak ada sumber pasti kurun waktu kapan seni Betuto ini mulai hadir dalam kehidupan budaya masyarakat Simpang. Sehingga dapat di sebutkan bahwa Seni Betuto ini telah muncul sejalan dengan berdirinya Kerajaan Simpang.

Cerita rakyat Laut Ketinggalan, yang mengisahkan tentang seorang putri raja yang diramalkan akan menemui ajal dimakan buaya. Sang Putri berkeinginan mandi di laut,  sehingga ayahnya sang raja demi keselamatan tuan putri harus membuatkan kolam dan buaya tiruan dari kayu. Naas, tangan tuan Putri luka tergores gigi buaya yang terbuat dari kayu, sehingga luka itulah yang akhirnya membawa kematian sang putri. Kolam yang dimaksud terletak di Desa Matan Jaya sekarang, yang dibangun pada zaman Giri Mustika sebagai Sultan Matan abad 17, sebagai bagian sistem pengairan perladangan pada saat itu. Setting cerita yang mengambil latar sejarah era Giri Mustika tentu membuka pemikiran kita bahwa cerita ini sudah begitu tua hadir ditengah masyarakat, walaupun, lagi-lagi, kita sulit mendapatkan data kapan persis cerita ini muncul dalam budaya Simpang.

Silsilah Kerajaan Simpang yang ditulis oleh Gusti Muhammad Kasim (Pangeran Adi) bin Gusti Panji tahun 1891, yang kemudian Silsilah ini dialihaksarakan oleh Gusti Maerad tahun 1956. Gusti maerad adalah keponakan Gusti Muhammad Kasim. Silsilah ini merupakan rekaman sejarah kerajaan Tanjungpura, Matan hingga Simpang. Namun secara kritis, kami menemukan percampuran alur sejarah dengan cerita rakyat berkelindan terangkai seakan menjadi sebuah kebenaran sejarah. Sehingga dapatlah kita menelisik bahwa dalam kurun waktu penyusunan dan penilisan silsilah tersebut di Negeri Simpang tengah tumbuh dan berkembang budaya cerita rakyat atau Betuto. Oleh Karenanya, tradisi Betuto  ini sesungguhnya sudah ada dalam kehidupan masyarakat sejak awal berdiri Kerajaan Simpang.

Tradisi Betuto ini tentu tidak terlepas dari istana kerajaan sebagai pusat pemerintahan dan simpul budaya dimasa lalu. Beberapa narasumber berkeyakinan bahwa tradisi Betuto ini dahulu diproduksi di istana. Juru Tulis istana yang juga sekaligus sebagai pujangga kerajaan, kemudian mempunyai kebiasaan membuat cerita-cerita baru dan selanjutnya menyebar kemasyarakat dan dilakoni sebagai tradisi Betuto.

Oleh karena sebagian besar cerita Betuto  ini dibuat di istana, maka tidak heran sebagian besar alur cerita dalan tradisi ini merupakan cerita yang istanasentris. Pola cerita yang memasukan unsur-unsur dan simbol-simbol kerajaan didalamnya. Dan cerita dalam tradisi Betuto yang istanasentris ini dapat memberikan penjelasan bahwa fungsi kerajaan dan istana juga menjadi simpul budaya, tak hanya sebagai fungsi kekuasaan.

 



 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar