Puing Puing Kerajaan Simpang Pulau
Borneo 1734 – 1917.
Kerajaan Simpang yang berada di pulau boneo telah wujud sejak
abad ke 17 masehi, yang sebelumnya merupakan pembagian wilayah dari kerajaan
induknya yakni kerajaan Matan dan Tanjung Pura .
Dalam catatan Von De Wall tahun 1862, tertulis
bahwa leluhur sekaligus pendiri kerajaan simpang adalah Pangeran Ratoe Agung Kesuma Ningrat, yang merupakan cucu dari
Sultan M. Zainuddin yakni raja pertama kerajaan matan. Pangeran
Ratoe Agung Kesuma Ningrat lalu menikah dengan Ratu bunga yakni putri dari Sultan
Muazzidhin yang pada masa itu berkuasa di Indra laya, atau di kenal sebagai
marhum negeri laya atau yang saat ini di kenal dengan nama Sandai.
Sedang dalam catatan Gorge Muller bersama salah seorang
rekannya yang pernah datang ke Borneo pada tahun 1822, yang di temani oleh Raja
Akil dari Sukadana dan Uwan Hassan,
yakni utusan dari Pontianak ,Muller
menuliskan bahwa Pangeran Ratu Kesuma Ningrat meninggal pada usia yang sangat tua
pada tahun 1814 masehi, dan di makamkan di belakang Keraton Kerajaan Simpang
dengan bertaburkan bunga serta sekitarnya terdapat marmer putih.
Di masa Panembahan Anom Surya Ningrat
atau Gusti Mahmud yang merupakan putra dari Pangeran Ratoe Kesuma Ningrat sekaligus pewaris tahta
kerajaan simpang, kolonial belanda Belanda datang dan melakukan kontrak tanda
tangan yang pertama yakni pada 23 november 1823 masehi. dalam kontrak tersebut
belanda meminjam tanah di sukadana untuk mendirikan kantor loji dengan dalih ingin
memberantas lanun atau bajak laut .
Dinamakan Kerajaan Simpang karena letaknya yang berada dicabang
dipersimpangan dua sungai, satu cabang di sebelah kanan menuju ke Sungai Matan,
dan cabang sebelah kiri adalah sungai Lubuk Batu saat ini, (jika dahulu bernama Sungai Sidiaw).
1.
Pangeran
Ratoe Kesuma Ningrat ( 17an – 1814 )
2.
Gusti
Mahmud bergelar Panembahan Anom Surya Ningrat
( 1814 – 1845 )
3.
Gusti
Muhammad Roem bergelar Panembahan
Kesuma Ningrat ( 1845 – 1875 )
4.
Gusti
Panji Bergelar Panembahan Soerya Ningrat ( 1875 – 1911. wafat Pada Tahun 1917
)
Nama nama di atas adalah raja
raja yang pernah memerintah Kerajaan
Simpang, yang pada masa itu masih berpusat di Simpang Matan yang di tandai
dengan cabang sungai sebelah kiri ke arah lubuk batu saat ini, atau sungai
sidiau dan cabang sebelah kanan adalah sungai matan.
Di gambarkan oleh muller pada
tahun 1822 tentang keraton kerajaan simpang, ia mneyebut keraton dengan istilah
“Dalem”. Di gambarkan oleh muller bahwa keraton simpang berpagar kayu ulin yang sangat keras .
Pada saat itu ia juga sudah
menulis nama nama kampung serta tempat di antaranya adalah, sepuncak, munggoe
djering, kumpang, tambang amok, koman, sungai rasau, bekuwak, semberak, kelebembang,
krampe, kwalan hulu dan hilir, semandang kiri dan kanan, giri mantuk, bayuh,
kembere, laur dan sebagainya.
Ada sebuah lukisan kuno yang
tertulis dengan jelas dengan nama Simpang
1823, kemungkinan lukisan tersebut di buat oleh salah seorang rekan muller
yang ikut serta bersamanya. Dalam prespektif lukisan , sang pelukis mencoba
untuk menggambarkan situasi di sekitar Kerajaan simpang pada tahun 1823 Masehi.
Jika kita bandingkan dengan
situasi saat ini sangat jauh berbeda, lokasi yang dahulunya sebagai pusat
kerajaan simpang tersebut sudah menjadi hutan dan semak belukar dengan pohon pohon yang tinggi. Yang
sering di kunjungi orang saat ini hanya kompleks makam yang dahulunya terletak
di belakang keraton Simpang.
Untuk lokasi keraton sendiri saat ini yang ada hanya tinggal
puing puing serta tongkat tongkat kayu ulin yang sudah banyak lapuk dan rusak,
serta sebagian lagi sudah tumbang dan berkalang dengan tanah. Tiang yang masih
tersisa menurut dari berbagai penuturan hanyalah tiang masjid, sedangkan tiang
keraton sendiri sudah tidak ada.
Kepunahan atas situs atau cagar budaya keraton simpang tua
ini di sebabkan karena berpindahnya pusat kerajaan simpang ke ke teluk melano pada tahun 1911. Setelah wafatnya
Raja Gusti Panji pada tahun 1917,
situasi negeri seimpang tua semakin sepi dan di tinggalkan penduduknya
hingga akhirnya keraton kerajaan simpang dan pemukiman lama di sana menjadi
terbengkalai.
Berdasarkan hasil analisis dari Peniliti Sejarah Tanah
Kayong, Isya Fahruzi mencoba memberikan sebuah pendapat dengan merekonstruksi
ulang beberapa lokasi yang ada di dalam lukisan pada tahun 1823 tersebut.
Dengan cermat ia menganalisis dari bentuk bangunan yang juga dari berbagai
catatan dan literatur. Terjemahan lukisan tersebut dalam bentuk sederhana adalah
sebagai berikut.
Sang pelukis pada tahun 1823 di tandai dengan angka bulat
merah berada di samping pemukiman penduduk
dengan tanda warna orangye, sedangkan objek berwarna hijau di perkirakan
adalah bangunan masjid yang pada saat ini yang ada hanya tinggal puing puing
serta tiang yang sudah usang, sedangkan warna merah di perkirakan adalah
pendopo keraton kerajaan simpang, yang mana dalam lukisan tersebut tertutup
oleh bangunan masjid serta pagar kayu ulin.
Namun sebagai tanda bahwa biasanya di halaman keraton
terdapat sebuah bendera, sebagaimana dalam lukisan tersebut, dengan jelas
terlihat bendera besar berkibar di belakang bangunan Masjid.
Di sekitar lokasi bekas puing puing keraton simpang itu di
temukan juga banyak pecahan keramik serta benda yang lainnya, padahal ini belum
di eksplore secara serius, namun hal ini adalah awal yang baik buat tapak
penelitian selanjutnya.
Pamor Kerajaan simpang mulai redup manakala terjadi
pemberontakan di masa raja Gusti panji bersama Ki Anajang samad dan rakyat simpang
saat menentag penjajahan belanda. pada masa itu Gusti Panji sebagai raja
mengalami tekanan secara psikoloigis oleh pemerintah Hindia belanda. beberapa
kali peristiwa pengancaman kepada Raja Gusti Panji hingga penjemputan paksa
oleh Belanda guna menanda tangai korte veklaring atau pelakat pendek yaitu
berupa pajak yang menyiksa rakyat simpang. Namun berbagai upaya tersebut di
tolak oleh Gusti Panji , hingga akhirnya meletuslah perang belangkait sebagai
wujud dari perlawanan itu.
Belangkaet adalah sebuah nama tempat untuk persembunyian
sekaligus guna menyusun kekuatan bagi para pejuang simpang, jika dalam catatan
belanda di sebut sebagai bivak. belangkait
adalah nama tempat meletusnya perang
yang puncaknya meletus pada tanggal 27 hingga 28 februari 1915.
Dalam peta boneo tahun 1893 yang bersumber dari museim leiden belanda, nama Belangkait jelas tertulis, tidak jauh
dengan Matan pada saat ini. Jika melihat dalam peta tersebut bahwa kampung
belangkaet ada di sebelah kanan sungai matan.
Kampung kampung yang ada di sekitarnya adalah, Mendarau
guntung, sepuncak, Matan, begurah, Djamboe, Sungai Rasau, Tanjung awat, pusat
Kerajaan Simpang , munggu jering, sepaloh, betong, mungguk keruwang dan lain
lain.
Selain puing puing keraton dan makam yang tersisa di simpang
saat ini yang sudah menghutan juga menyisakan berjuta kenangan, dimana beberapa
nama lokasi yang pernah terjadi peristiwa penting, seperti dungung kapal,
dimana dungun kapal adalah kayu dungun bekas kapal bukat belanda yang gagal
membawa gusti panji, kemudian lubuk senjate, pegenting, keuban negeri, dan
bekas perladangan serta tempat hunian di sepanjang sungai simpang hingga ke
matan yang saat ini sudah menghutan.
Namun lokasi yang menghutan itu tampaknya akan lebih aman
untuk melindungi tempat bersejarah di
masa simpang dan matan pada masa lalu, di bandingkan beberapa tempat lain yang
saat ini sudah mulai rusak bahkan tidak terawat, seperti bekas benteng atau
bangunan kantor belanda di dekat pulau datok sukadana,yang justru terdapat
struktur bangunan baru yang merusaknya, kemduian bekas loji di sukadana yang
sampai tahun 2020 ini masih kisruh soal kewenangan, dan masih banyak lagi
tempat bersejarah di Tanah Kayong yang terbengkalai.
Namun khsus di Simpang saat ini
sudah mulai tidak aman, yakni dengan pembukaan lahan baru bagi industri
perkebunan yang sudah semakin dekat dengan areal cagar budaya, seperti halnya
di makam sekusur yang jaraknya hanya 50 meter dari kebun sawit. Kemudian lalu
lintas kapal tambang yang membawa kapal
tongkang juga sewaktu waktu bisa menggerus tepian sisa puing puing keraton dan
tiang masjid Simpang, belum lagi aktivitas lain yang dapat merusak
keberlangsungan situs bersejarah kerajaan simpang tersebut.
Hingga saat ini kesulitan para peneliti sejarah, khususnya
meneliti kerajaan tentang sejarah
Kerajaan Matan di masa awal adalah
minimnya petunjuk. Pada tahun 2018 tim Lembaga Simpang Mandiri bersama
arkeholog pernah melakukan ekpedisi ke Matan untuk melacak dimana bekas keraton
ataupun petunjuk lain, namun karena lokasi sudah berbaur dan banyak tumpang
tindih dengan pemukiman penduduk, maka sangat sulit melacak jejak jejak sejarah
di masa itu.
Di tambah lagi tempat bersejarah di matan, seperti bekas
laut ketinggalan dekat makam panembahan di baroh justru oleh masyarakat di
tanami sawit dan tanaman lainnya, Belum lagi keberadaan benda arkehologis
seperti bekas lesung penumbuk putri raja seperti tak ada nilainya, terbengkalai
di belakang rumah warga , serta beberapa barang lain yang lambat laun bisa saja
hilang tanpa jejak jika tidak di invetarisasi secara cepat oleh pihak terkait
dan pihak pihak yang perduli.
Dengan situasi saat ini maka makin sulitlah para peneliti
mencari kebenaran akan sejarah, sehingga wajar bangsa yang lupa akan sejarah
bisa di katakan adalah, bangsa yang tak
memiliki identitas, jika demikian
maka bangsa tak beridentitas tersebut
hidup hampa tak bermarwah.
Maka jika kita peduli
dengan keberadaan sejarah dan budaya tersebut, hendaknya saat ini kita sadar dan bangun dari tidur yang panjang,
berdiri dan bergeraklah, serta bagikan informasi ini agar dapat memberikan
manfaat bagi orang lain.
Demikian ulasan kami kali ini, kami ucapkan terima kasih sampai
jumpa dan salam budaya.
MIFTAHUL HUDA 14 November 2020 .
0 Komentar