Ticker

6/recent/ticker-posts

Sejarah Mengeruk alam Kalimantan dari masa Kerajaan hingga kini

 Oleh : Hasanan 

PULAU Kalimantan, lebih dikenal dunia dengan Borneo, memiliki sumber daya alam melimpah. Sejak masa dahulu, tanah Kalimantan terkenal subur untuk tanaman pertanian komoditas, terutama lada.

Ditambah penemuan tambang batubara dan minyak bumi pada awal abad ke-20. Hal ini membawa berkah bagi rakyat Kalimantan sekaligus bencana karena pedagang-pedagang Belanda ingin memonopolinya. Sebelumnya perdagangan emas dan intan sejak abad ke 16 juga sudah di monopoli oleh VOC.

Tercatat, sejak tahun 1738 M, Belanda yang pernah bercokol wilayah ini, telah mengekspor intan dan berlian senilai 200.000 hingga 300.000 dolar setiap tahunnya. Berlian yang diakuisisi oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda diekspor ke Belanda, dan membantu meletakkan dasar pembangunan bagi pengembangan kota Amsterdam sebagai pusat perdagangan dan pemotongan berlian internasional

 Pada abad ke-17, dua kerajaan lokal memiliki pengaruh kuat di Kalimantan, yakni Kerajaan Kutai dan Kerajaan Banjarmasin. Lada menjadi komoditas utama keduanya. Sedangkan kerajaan Tanjun Pura Era sukadana memegang peranan penting sebagai bandar yang paling ramai dengan komoditi andalannya yakni Biji besi, intan , dan beras.

Persentuhan pertama orang-orang Belanda dengan kerajaan di Kalimantan terjadi pada 160an, ketika armada dagang VOC menjalin perjanjian perdagangan Intan di bandar sukadana dan di  Banjarmasin mereka kemudian juga melakukan kerja sama dagang yang  Isinya, kedua kerajaan itu hanya boleh menjual lada-ladanya kepada Belanda.

Kali ini kita akan berkisah tentang politik dagang belanda di Banjarmasin dan Kutai, pada masa itu Berawal dari perjanjian yang di buat, pedagang-pedagang Belanda kemudian memonopoli perdagangan lada Kalimantan. “Pihak istana tidak siap, VOC lebih jeli melihat kesempatan. Mereka menawarkan kontrak dagang kepada pihak istana dengan janji untuk mempertahankan kekuasaan mereka dari kerajaan-kerajaan lain yang mencoba menyerang.

Ketika VOC runtuh dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berkuasa pada awal abad ke-19, Kutai dan Banjarmasin semakin melemah. Belanda semakin menancapkan pengaruhnya untuk menahan laju Inggris yang telah bercokol di Kalimantan bagian utara. Samarinda, pintu gerbang Kutai, dikendalikan Belanda untuk mengamankan eksplorasi batubara yang mereka temukan sejak 1827.

Di bawah pengawasan asisten residen Kutai dan Pantai Timur Kalimantan, pada tahun 1860 digali tempat batubara di dekat Samarinda. Hasilnya, antara Januari-Agustus, dihasilkan batubara sejumlah 3.558,31 ton,” tulis Ita Syamtasiyah Ahyat dalam bukunya Kesultanan Kutai 1825-1910: Perubahan Politik dan Ekonomi Akibat Penetrasi Kekuasaan Belanda, yang menjadi sumber diskusi tersebut

Raja-raja Kutai mendapatkan banyak keistimewaan dan kekayaan selama berada di bawah kendali Belanda, meski kedaulatan politiknya nyaris habis. Sedangkan di Banjarmasin, Belanda semakin lama semakin dibenci. Pangeran Antasari, yang tak puas dengan campur tangan Belanda dalam politik istana ditambah laporan rakyat Martapura terhadap kesewenangan Belanda dalam mengelola tambang batubara, menyerang pos-pos Belanda di Banjarmasin pada 1859.

Perlawanan Pangeran Antasari yang awalnya menjanjikan berakhir dengan kekalahan. Karena huru-hara dan kekacauan yang ditimbulkannya, Belanda memutuskan mengambil-alih Kerajaan Banjarmasin dan menyatakannya berakhir. “Wilayahnya lalu menjadi hak milik Belanda serta dimasukkan di dalam wilayah Zuid-en Oosterafdeeling van Borneo berdasarkan surat keputusan komisaris FN Niewenhuyzen pada 17 Desember 1859,” tulis Ita.

Hilangnya kekuasaan dua kerajaan tersebut membuat Belanda semakin memantapkan kekuasaannya. Kalimantan pun terbagi dua: bagian utara didominasi Inggris dan selatan dikendalikan Belanda.

Sumberdaya alam kembali menjadi alasan datangnya kekuatan asing di Kalimantan. Jepang menyerbu untuk mendapatkan sumberdaya batubara dan minyak yang melimpah di Kalimantan. Pada masa modern ini, Pulau Kalimantan dikuasai tiga negara berbeda: Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Namun hal ini Kontras dengan wilayahnya yang luas dan sumberdaya alamnya yang kaya, kajian penelitian tentang sejarah Kalimantan masih minim, terutama oleh orang-orang Indonesia. Hal inilah yang menjadi tapak penelitian bagi para penggiat literasi dan generasi muda di masa yang akan datang. 

di himpun dari berbagai sumber  (MIFTAHUL HUDA )

Posting Komentar

0 Komentar